Atasi Stunting, LIPI Tawarkan Teknologi Biofortifikasi

Jakarta, Nusantarapos – Pemerintah saat ini sedang berupaya keras untuk mengatasi masalah stunting. Jumlah balita penderita stunting (tubuh kerdil, gangguan pertumbuhan) di Indonesia masih cukup tinggi.

Meskipun berhasil menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 30,8% pada tahun 2018. WHO menyarankan agar prevalensi stunting harus di bawah 20%. Demikian dikatakan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, Agus Haryono.

Prevalensi stunting pada anak-anak ini umumnya disebabkan oleh kekurangan zat gizi. Terutama zat gizi mikro, seperti zat besi, zinc, vitamin A, beta karoten, beta glukan, iodium, selenium dan asam folat. Salah atu intervensi yang ditawarkan oleh LIPI adalah teknologi biofortifikasi.

Dalam paparannya di Workshop Nasional Fortifikasi Pangan yang diselenggarakan Bappenas di Jakarta, Selasa (19/2/2019), Agus Haryono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, menjelaskan, berbagai teknologi biofortifikasi yang dikembangkan oleh para peneliti di LIPI.

Teknologi biofortifikasi merupakan upaya intervensi untuk meningkatkan konsentrasi zat gizi mikro pada bahan pangan, sejak dari pembudidayaan tanaman.

Menurut Agus, LIPI telah mengembangkan teknologi biofortifikasi pada tanaman padi, singkong, jagung, jamur dan umbi-umbian. Melalui proses pemuliaan tanaman dan intervensi agronomi, tanaman tersebut dapat mengandung unsur zat gizi mikro seperti zat besi, zinc, asam folat, beta karoten (vitamin A), selenium dan beta glukan.

Dalam kesempatan itu, Agus juga memperlihatkan kemajuan riset fortifikasi pangan menggunakan fortifikan alami yang sudah diteliti di LIPI. Dengan berbagai upaya ini diharapkan hasil riset biofortifikasi pangan dan produk turunannya dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah stunting.

Beberapa peserta workshop berharap LIPI bisa menjadi institusi yang memimpin konsorsium riset biofortifikasi di Indonesia. Bagi Agus, tantangan berikutnya adalah, bagaimana membuat produk biofortifikasi yang murah dan terjangkau bagi kaum menengah ke bawah. Karena justru di kelompok inilah angka prevalensi stunting terlihat tinggi.