Aktivis ’77/’78: People Power Itu Bukan untuk Ambisi Pribadi

Jakarta, NusantaraPos – Aktivis mahasiswa angkatan 1977-1978 menilai ‘people power’ yang diserukan elit politik menyikapi Pemilu 2019, tidak tepat dilaksanakan. Sebab yang menjadi landasan gerakan merupakan kepentingan salah satu kubu politik, yang tak puas terhadap hasil pesta demokrasi. Pernyataan ini disampaikan ketika pertemuan menyikapi rencana people power, sekaligus syukuran penyelenggaraan Pemilu 2019 di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/5/2019).

“Saat ini tentatif Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) sudah selesai. Tapi kita prihatin, ternyata masih menyisakan PR, karena ada pasangan yang tidak mentaati konstitusi dan ingin bikin huru-hara dengan dalih KPU lakukan kecurangan. People power itu bukan untuk ambisi pribadi,” ujar perwakilan aktivis mahasiswa ’77/’78 dari Universitas Indonesia (UI), Sukotjo Suparto, Senin (20/5/2019).

Sukotjo meminta seluruh pihak menahan diri. Eksponen ’77/’78 pun diimbau menjadi penenang di tengah-tengah masyarakat, agar berpikir jernih dengan menyerahkan sengketa pemilu melalui cara-cara yang konstitusional.

“Agar eksponen ’77/’78 di daerah menyarankan masyarakat agar ikut arahan dari pemerintah dalam menyikapi situasi memanas paska Pilpres,” kata dia.

Mantan Ketua Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) periode 1977, Indro Tjahyono, mengingatkan seluruh pihak khususnya aktivis seangkatannya, waspada terhadap gerakan inkonstitusional yang dilakukan mengacu hasil Pemilu. Apalagi, sebelumnya pernah disuarakan oleh pihak yang sama, Perang Badar, pertempuran yang kebetulan dilakukan semasa Ramadan.

“Oleh karena itu eksponen aktivis mahasiswa ’77/’78 harus mampu menjadi katalisator dalam mencegah masyarakat ikut serta dalam acara yang disebut people power.  Terlebih beberapa teroris yang akan membawa bom bunuh diri dan diledakkan dalam kerumunan people power sudah ditangkap polisi,” jelasnya.

Sementara, aktivis mahasiswa ’77/’ 78 yang juga mantan jurnalis, Admadji Sumarkidjo mengatakan hanya pemerintah yang mampu mengatasi gerakan ketidakpuasan hasil pemilu yang dibungkus ‘people power’ tersebut. Sebab, jika masyarakat kubu yang bertentangan turun tangan mengatasi, dikhawatirkan akan terjadi perang saudara.

“Menghadapi aksi yang bersifat massal hanya pemerintah yang mampu. Jika diserahkan masyarakat bisa terjadi konflik horizontal. Namun melihat persiapan yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi demo tanggal 22 Mei 2019, saya yakin dampak negatif yang timbul bisa dicegah,” tuturnya.

Setidaknya seratus aktivis hadir pada acara tersebut, yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung,  dan Sumatera Utara. Turut hadir relawan tim medis selama Pilpres.

“Ribut-ribut dalam pelaksanaan Pilpres sebagai akibat dari kekurangan dari sistem demokrasi, kesadaran terhadap konstitusi juga lemah. Sehingga ada yang coba-coba untuk melawan konstitusi,” tandas aktivis mahasiswa angkatan 1974, Yudhil Herry Yustam. (RK)