Kritik Nasib Mahasiswa Lulusan PGRI Kupang dalam Buku Perzinahan di Rumah Tuhan

Kupang,Nusantarapos.co id – Pencahayaan di lokasi Taman Nostalgia, Kota Kupang, terlihat suram. Beberapa tenda dan sebuah panggung sedang dibangun dekat area Gong Perdamaian.

Pada lokasi Gong Perdamaian dengan pencahayaan yang suram itu, sekumpulan pemuda duduk melingkar dan berdiskusi.

Kali ini, perkumpulan pemuda yang diinisiatori oleh Angkatan Muda Adonara (AMA) Kupang ini mendiskusikan antologi cerita pendek (cerpen) Perzinahan di Rumah Tuhan karya Kopong Bunga Lamawuran.

Tahun 2017, antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan ini diterbitkan Penerbit Nusa Indah, Ende. Buku ini pernah diluncurkan dan dibedah oleh beberapa narasumber di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang pada 2018 silam.

“Beberapa cerpen dalam antologi ini mengeritik nasib mahasiswa yang lulus dari Universitas PGRI Kupang, yang memang tidak diakui DIKTI,” kata Kopong Bunga Lamawuran dalam sela diskusi, Kamis (24/10/2019).

Dalam satu cerpen, Roti Busuk dalam Kulkas, dikisahkan seorang lulusan PGRI Kupang yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang dinginkan. Alasannya dia lulus dari universitas yang tidak diakui DIKTI.

Namun pada akhirnya pemuda tersebut mendapatkan pekerjaan sebagai guru atas belas kasihan dari seorang kepala sekolah.

“Situasi ini memunculkan nepotisme. Realitas seperti ini yang diangkat dalam antologi ini. Juga persoalan guru-guru, yang kemudian menjadi korban dalam kehidupan mereka,” papar Kopong.

Selain itu, antologi ini pun membahas tentang peran gereja yang justru menyumbangkan kemiskinan terhadap umat.

“Sebagian besar isi cerita dalam antologi ini mengeritik dunia pendidikan, budaya, juga agama. Untuk yang terakhir, saya melihat kemiskinan juga adalah sebagian sumbangsih dari gereja,” kata Kopong Bunga.

“Pemiskinan” oleh gereja ini dikisahkan dalam satu cerpen yang berjudul ‘Maaf Kasih, Kau Telah Dikhianati’. Dikisahkan, penghasilan umat sangat minim dari hasil kebun, namun gereja kemudian ‘memaksa’ para petani menyerahkan pengasilan tersebut dalam bentuk ‘aksi-aksi’.

Karena tidak ada pembicara lain yang diundang untuk membahas buku tersebut, maka dirinya hanya bisa berkisah tentang isi buku, tanpa lebih jauh membicarakan pemaknaan atas buku tersebut.

Judul antologi ‘Perzinahan di Rumah Tuhan’ ini ada kaitan dengan isi dari beberapa cerita dalam buku, jelas Kopong.

“Selain itu, untuk menarik pembaca, tentu diperlukan sebuah judul yang menarik. Saya kira judul itu juga akan menjual beberapa tema yang cukup penting dalam isi buku,” imbuhnya.

Diskusi ini terselenggaran berkat inisiatif dari organisasi AMA Kupang. Ketua AMA Kupang, Katarina Kewa Sabon, mengatakan momen diskusi-diskusi seperti ini kerap mereka gelar akhir-akhir ini.

“Dengan adanya momen ini, kita bisa berdiskusi langsung dengan penulis buku. Teman-teman bisa bertanya ataupun berbagi soal pengalaman menulisnya,” katanya.

Minimnya Kritik Sastra

Dunia sastra di NTT sudah cukup berkembang, namun masih kekurangan kritikus sastra.

Dengan adanya kritik sastra, para penulis bisa melihat kembali proses berkreatifnya, dan bisa menulis tema-tema yang belum terjamah.

Rafael Pura, seorang jurnalis yang hadir pula pada diskusi itu, mengungkapkan harapannya akan dunia kritik sastra di NTT.

“Saya lihat belum begitu banyak kritikus sastra. Padahal kehadiran kritikus itu sangat penting,” ucapnya.

Dengan adanya diskusi semacam ini, Rafael berharap ada ketertarikan dari para kritikus untuk bisa mengulas buku-buku yang ditulis penulis NTT.

“Apalagi tema-tema yang diangkat dalam antologi ini sangat berkaitan dengan kehidupan sekarang. Kritik sangat penting supaya pembaca awam bisa memahami lebih jauh isi buku,” ungkapnya.