DAERAH  

APTRI Tengarai ada Kejanggalan di Lelang Gula

Lumajang, Nusantarapos – Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menduga adanya kejanggalan di PTPN 11 terkait proses lelang gula kali ini. Oleh karena itu mereka bermaksud melaporkan masalah ini ke Diskrimsus Mabes Polri.

Menurut Ketua DPC APTRI, Didik Purwanto, sejak musim panen kemarin harga gula turun. Dua kali lelang di PTPN 11 (pertama laku Rp 10.710 ribu. Kedua laku Rp 10.350 ribu. Yang ketiga laku Rp 9.900 ribu dipending).

Masih menurut Didik Purwanto, Sebelumnya melalui Ketua DPN APTRI sudah melakukan terobosan ke Pemerintah lewat Menko Perekonomian, Mendag dan Komisi 6 DPR RI agar gula petani tidak jatuh dan petani tidak merugi. Maka terjadilah MoU dengan importir sehingga terbentuk harga Rp 11.200 ribu/ kg.

“Importir mau beli gula petani Rp 11.200 ribu  per 1 kg selama musim giling di tahun 2020”, ujarnya.

Sementara itu, Ketua DPD APTRI Lumajang Budi Susilo melobi PTPN 11 agar ikut penjualan kesepakatan tersebut. Setelah itu PTPN 11 mempertemukan 2 organisasi (APTRI dan PPTRI) untuk berunding dan sepakat ikut penyertaan dalam kesepakatan harga Rp 11.200 ribu/ kg. Sehingga PTPN 11 membuat surat kepada Ketua DPN APTRI dengan mencantumkan kuota gula untuk ikut serta agar dijualkan dengan harga Rp 11.200 ribu/ kg.

“Yang tahap pertama alhamdulillah selesai terbayar semua di PG PTPN 11. Lalu tahap ke 2 ada beberapa PG yang terbayar. Kemudian tanpa diduga, tidak tahu ada apa, tiba-tiba PTPN 11 tanpa ada koordinasi dengan kita semua dan DPN APTRI, tahu-tahu melakukan penjualan gula atau lelang gula dengan harga Rp 10.425 ribu/ kg. Kami semua kaget. Kuotanya sekitar 42 ribu ton,” ungkapnya.

Atas persoalan ini, pihaknya dan petani pemilik gula akan melakukan upaya hukum. “Alasan kita PTPN 11 tidak pernah membuat surat kepada DPN APTRI untuk ikut dalam penjualan gula dan menyertakan kuota dan surat itu berlaku sampai sekarang”, paparnya.

Dijelaskan, harga gula tersebut seharusnyakan Rp 11.200 ribu/ kg. Sedangkan kemarin lakunya hanya Rp 10.425 ribu/ kg. “Ini ada apa? Sementara petani sudah ada dana talangan. Membayar bunga pun siap. Katakan bunga perbulan gula itu yaitu cuma 80 rupiah, kalau sampai 2 bulan 3 bulan, kan tidak sampai Rp 300. Masih terbentuk harga potong bunga Rp 10.900 ribu. Kenapa ini dijual Rp 10.425 ribu?,” tukasnya.

Pihak APTRI mengaku sudah melakukan klarifikasi ke pihak PG. Namun belum ada jawaban. “Melalui WA juga sudah menyampaikan jika kita akan melakukan upaya hukum”, paparnya. Dijelentrehkan, kejanggalan lain adalah mekanisme lelangnya. Dijelaskan, harga gula tersebut seharusnyakan Rp 11.200 ribu/ kg. Sedangkan kemarin lakunya hanya Rp 10.425 ribu/ kg. 

“Ini ada apa? Sementara petani sudah ada dana talangan. Membayar bunga pun siap. Katakan bunga perbulan gula itu yaitu cuma 80 rupiah, kalau sampai 2 bulan 3 bulan, kan tidak sampai Rp 300. Masih terbentuk harga potong bunga Rp 10.900 ribu. Kenapa ini dijual Rp 10.425 ribu?,” tukasnya.

Pihak APTRI mengaku sudah melakukan klarifikasi ke pihak PG. Namun belum ada jawaban. “Melalui WA juga sudah menyampaikan jika kita akan melakukan upaya hukum”, paparnya.

Kejanggalan lain adalah mekanisme lelangnya. Biasanya, kata Didik, lelang itu PTPN 11 mengundang beberapa perusahaan untuk melakukan tawar-menawar. “Ini tidak. Malah melakukan suatu penunjukan. Ada apa? Kenapa dalam kuota yang besar seperti itu kok penunjukan?” Herannya.

Seharusnya, jika PTPN 11 benar-benar pro petani dipecah-pecah jadi beberapa kali lelang. Karena apa? Dengan kuota yang kecil banyak yang kuat dari pengusaha-pengusaha tersebut,”pungkasnya.

Dugaan kejanggalan yang lain, kata dia, terkait pelelang atau penjual gula yang terjadi di PTPN 11.

“Itu patut dipertanyakan. Apa benar itu mewakili petani? Apa benar mereka itu mempunyai gula di dalam penjualan tersebut? Yang ditakutkan, tidak punya gula tapi menjual gula petani. Atau punya gula 1 kwintal mau jual 1 gudang. Ini kan bahaya. Ini namanya tidak berpihak ke petani,” paparnya.

Dia juga menyinggung soal legal formal organisasi. Dirinya, kata Didik, sering melakukan protes. Pasalnya, di situ memakai nama APTRI yang menjual gula.

“Ini namanya penyimpangan. Karena kita punya SK Menkumham. Yang APTRI itu justru kita. Kita tidak di undang dan Tidak dilibatkan. Padahal kesepakatan awal kita dipertemukan dua-duanya antara APTRI atau apa dengan APTRI. Nah, selama ini sudah bertahun tahun menggunakan organisasi yang tidak jelas. Nah, ini takut disalahgunakan sehingga membingungkan petani. Mulai 2018 organisasi yang bernama APTRI itu kita. Namun, penjualan gula dan tetes yang dilakukan di PTPN 11itu atas nama APTRI. Sedangkan Mas Budi sebagai Pengurus di DPD nya tidak pernah tahu,” selorohnya.

Pengawas DPC APTRI H Andi Rohman, berharap PTPN 11 tetap menjalankan sesuai dengan MoU yang sudah ditandatangani oleh importir dan disaksikan oleh komisi 6 DPR RI yang sudah disepakati dan sebagian sudah terbayar beberapa waktu lalu.

“Harga yang sudah disepakati Rp 11.200 ribu. Tapi gak tahu mengapa PTPN 11 tiba-tiba terjadi kesepakatan di direksi dengan pembelian seharga Rp 10.425 ribu. Sebagai pengurus DPD APTRI di wilayah timur mempertanyakan hal ini,” katanya.  Meski demikian, Andi mengaku masih akan melakukan koordinasi dengan direksi yang menaungi PG – PG di wilayah timur, terutama PTPN 11.

“Persoalan ini baru akan dibawa ke ranah hukum jika jawabannya tidak sesuai seperti yang diharapkan.” Ujarnya. (naf)