BERITA  

Dunia Pendidikan Antara Kuantitas dan Kualitas

Oleh : Amirulah Datuk

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap 2 Mei sebagai momentum untuk mengenang kembali apa yang telah diletakan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara.

Momentum Hardiknas yang jatuh pada 2 Mei 2018 kali ini dijadikan sebuah cermin besar bagi pemerintah, pendidik, tenaga pendidik, orang tua, dan masyarakat untuk berkaca dalam rangka mengevaluasi diri atas apa yang telah diperbuat sebagai bentuk tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan sebagai investasi dalam bentuk kemanusian yang harus
terus dikumandangkan.

Dunia pendidikan kita seusia sama dengan usia bangsa Indonesia. Usia yang setua bangsa
Indonesia ini, masih saja belum memiliki arah pendidikan yang jelas, dan sering menghadirkan
kebijakan yang berlawanan dengan kehendak rakyat (publik).

Hal demikian mencerminkan
pemerintah tidak punya komitmen dalam membangun dunia pendidikan yang bisa bersaing
dengan negara lain dan pada akhirnya harus terus tertinggal dalam hal mutu pendidikan. Hal
yang demikian pernah dituliskan oleh Dr.H.Mudzier Suparta, MA bahwa “pendidikan di
Indonesia dikatakan masih coba-coba seperti iklan minyak angin untuk anak: buat anak kok
coba-coba!”.

Hal ini diumpamakan dengan sistem pendidikan di Indonesia maka iklan tersebut akan menjadi “buat anak kok coba-coba”.

Dunia pendidikan kita masih belum adil dalam penerapan. Berbagai persoalan yang harus
secepatnya untuk dituntaskan sebagai bentuk kesenjangan dalam dunia pendidikan seperti sarana dan prasarana antara daerah-daerah terpencil seperti NTT, Ambon, Maluku dan Papua yang sangat berbeda dengan daerah-daerah yang ada di kota-kota besar, termasuk juga tenaga
pendidik, serta pelatihan kurikulum dan persoalan lainnya yang belum merata di terapakan. Padahal UUD tahun 1945 di pasal 31 ayat 4 mengamanatkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Itu artinya bahwa APBN dan
APBD 20% (dua puluh persen) itu belum mampu mengatasi kesenjangan dalam dunia
pendidikan antara kota-kota besar dan daerah terpencil. Persoalan yang penulis uraikan di atas dalam rangka mencari formulasi baru dalam dunia
pendidikan di NTT agar dunia pendidikan di NTT layak mendapat predikat yang tidak hanya sekedar banyak dari segi kuantitas tetapi juga harus dari segi kualitas.

Jika dilihat dari segi
kuantitas maka berdasarkan jumlah sekolah di tahun 2013 sebanyak 8.017 sekolah, jumlah siswa
sebanyak 562.562 siswa dan jumlah guru 75.220 guru (sumber: materi seminar Hardiknas P & K
Prov. NTT 5/10/2014).

Jujur kita akui bahwa secara kuantitas memang banyak baik dari segi jumlah sekolah, siswa dan guru, namun apakah semuanya dikatakan berkualitas?

Jawabannya bisa ya dan bisa tidak tergantung persepsi publik dalam hal ini orang tua termasuk pemerhati dunia pendidikan dalam memberikan penilaian terhadap kualitas dunia pendidikan di NTT.

Dalam rangka menjelang perayaan 2 Mei sebagai hari lahirnya dunia pendidikan, maka
perayaanya tidak sekedar dengan upacara bendera semata, tetapi momentum Hardiknas ini
dimaknai sebagai momentum untuk mengevaluasi atas apa yang telah terjadi dimasa lalu, mulai
dari kebijakan pemerintah yang selalu tidak berpihak pada masyarakat, terjadi penerapan dua
kurikulum dalam satu dunia pendidikan antara KTSP dan K13, kesejahteraan guru-guru di daerah
terpencil yang belum diperhatikan secara serius oleh pemerintah pusat, dan kesenjangan dalam hal sarana dan prasaran antara kota-kota besar dengan daerah-daerah terpencil agar semuanya dapat diatasi.

Oleh karena itu hikmah Hardiknas dijadikan sebagai evaluasi atas apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah, guru, masyarakat dan seluruh pemerhati dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang lebih serius lagi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagai pewaris bangsa ini dengan harapan kelak menjadi anak-anak bangsa yang membanggakan. (*)

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Kupang