HUKUM  

Diduga PN Jakut Kriminalisasi Pengusaha Asing, Dikuatirkan Mengganggu Iklim Investasi

Tim Kuasa Hukum Yu Jing yang terdiri dari Teguh Samudera, S.H., M.H., Anton Indradi, S.H., M.H., dan Fadli, S.H. ketika melakukan konferensi pers di kantor Advokat Yan Apul & Rekan gedung Menara Thamrin, Jakarta Pusat.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) memvonis bersalah warga negara Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia sejak 2006, Yu Jing, dalam kasus penggelapan dan penyalahgunaan jabatan. Pengusaha tambang itu dijatuhi hukuman 3 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 374 juncto 64 KUHP. Kuasa hukum Yu Jing seketika banding menyikapi vonis majelis hakim pada 6 Maret 2019 itu.

Menurut salah satu penasihat hukum Yu Jing, Anton Indradi, putusan hakim berbahaya, karena merusak iklim investasi di Indonesia.

“Keputusan bersalah majelis hakim menakutkan bagi investor asing yang berinvestasi di Indonesia. Sebab merusak kepastian hukum bagi investor di negara ini,” ujar Anton di kantor pengacara Yan Apul dan Rekan, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2019).

Apalagi, imbuh dia, putusan hakim dinilai tak sesuai koridor hukum.

“Padahal di sisi lain pemerintahan Jokowi menggenjot investasi dengan mempermudah perizinan dan kepastian hukum. Nah dalam kasus ini justru investor asing malah mendapatkan sebaliknya, jangan dizalimi klien kami,” tutur Anton.

Anton Indradi, S.H., M.H. sedang menerangkan kronologi perkara di hadapan awak media.

Persoalan sendiri bermula dari laporan yang dibuat pihak Agritrade Resources Limited (ARL) terhadap Yu Jing. Perusahaan asal Singapura itu mempolisikan Yu Jing ke Bareskrim Polri dengan sangkaan penggelapan dan penyalahgunaan jabatan sebagai Direktur Utama PT Merge Energy Sources Development (MESD), anak usaha
Merge Mining Holding Limited (MMHL), perusahaan Yu Jing yang sahamnya sebanyak 51 persen disepakati dibeli ARL senilai USD 153 juta. Sebab, uang senilai USD 10,3 juta yang merupakan sebagian pembayaran pembelian saham MMHL yang selanjutnya diperuntukkan MESD, dinilai disalahgunakan bukan untuk perusahaan melainkan kepentingan pribadi.

“Dituduh menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Semua pembuktiannya berdasarkan asumsi. Bahkan pihak penerima uang yang ditransfer tidak pernah diperiksa,” jelas dia.

Jaksa, kata Anton, tidak pernah membuktikan dakwaan jika uang tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi Yu Jing. Jaksa justru menyerahkan pembuktian kepada pihak Yu Jing. Adapun pria uzur yang tengah sakit-sakitan itu menjelaskan, jika uang dipakai untuk kepentingan operasional perusahaan seperti membayar hutang, gaji dan rekrutmen tenaga kerja.

“Dari USD 10,3 juta, pihak ARL hanya memiliki bukti uang USD 1,84 juta yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Itupun mereka tidak bisa membuktikan. Mereka hanya meminta pembuktian terbalik, Yu Jing yang menjelaskan. Sementara kondisi klien kami telah ditahan, seluruh dokumen dan kantor telah dikuasai oleh mereka, lalu bagaimana membuktikannya? Mereka saja enggak bisa membuktikan,” papar Anton.

Penasihat hukum Yu Jing lainnya, Teguh Samudera, mengatakan jaksa seharusnya membuktikan semua dakwaannya, bukan malah terdakwa. Hal ini merupakan perintah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Baik putusan maupun pembuktian dakwaan, tidak sesuai ketentuan hukum beracara. Jika memang Yu Jing dianggap melanggar perjanjian terkait penggunaan uang, harusnya ditarik ke ranah perdata, ini malah dipotong, dipaksa ditarik ke ranah pidana,” jelas dia.

Anton mengungkapkan kasus ini telah dipantau pihak Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Karenanya ia berharap di tingkat banding nanti, hakim menangani perkara secara profesional dan memenuhi rasa keadilan.

“Klien kami sampai bilang ketika pembelaan ‘Untuk apa saya menggelapkan uang saya sendiri? Itu kan uang saya hasil jual saham MMHL’,” ucapnya.

Sebagai direktur utama, Yu Jing sendiri dipandang wajar mengeluarkan uang perusahaan untuk operasional. Apabila dipermasalahkan, ada forum pertanggungjawaban yang sesuai prosedur.

“Kalau memang ingin pertanggungjawaban, harusnya di forum atau mekanisme yang sesuai seperti RUPS (rapat umum pemegang saham) atau ketika laporan tahunan. Bukan baru beberapa bulan memiliki saham, karena curiga langsung membuat laporan. Padahal ARL baru memenuhi kewajibannya sebagian kecil dalam akuisisi saham MMHL, dari 153 juta mereka baru bayar USD 12 juta, dan karena kasus ini mereka jadi menguasai seluruh perusahaan dan anak usaha termasuk PT MMI, PT MCM. Ini kan luar biasa,” tandas Anton.