HUKUM  

OTT KPK dan Implikasinya di Penegakan Hukum

Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) C. Suhadi, SH, MH.

Baru-baru ini Komisi Perantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang hakim dan pengacara di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur yang berinisial K, pengacara berinisial JHS dan pemberi suap berinisial S. Ketiganya telah menjadi Tersangka oleh lembaga anti rasuah tersebut.

Kasus ini bermula dari kasus pidana pemalsuan dengan Terdakwa S, di Pengadilan Negeri Balikpapan. Dalam menghadapi kasus tersebut S telah menggunakan jasa hukum dari Kantor Pengacara JHS dan sebagai Ketua Majelis dalam menangani kasus yang menjerat S, berinisial K.

Dari sumber yang layak dipercaya, kasus OTT ini berawal dari permintaan fee dari Hakim K kepada pengacara S, yang berinisial JHS dalam perkara pemalsuan surat. Kemudian JHS menyampaikan permintaan tersebut kepada S. Namun permintaan tersebut tidak serta merta di iyakan, satu dan lain S tidak memiliki dana sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Dan untuk menjamin keseriusannya atas permintaan Hakim K, lalu S menyerahan jaminan berupa sertifikat tanah. Dan berjanji kalau tanahnya laku dijual maka permintaan akan dipenuhi.

Kasus ini menjadi menarik, karena perkara OTT terjadi setelah beberapa bulan putusan bebas S, yang jatuh bulan Desember 2018. Kemudian pada bulan Januari, K menagih ke JHS karena janji S belum dipenuhi.

Namun realisasi penyerahan uang baru pada bulan Mei 2019, seperti diketahui KPK telah mengendusnya, yang ditindaklanjuti dengan OTT terhadap K, JHS dan menjadi Perkara baru buat S karena OTT.

Kasus OTT yang dilakukan KPK, bukan satu dan dua kali saja, baik yang menimpa pengacara, hakim serta panitera. Sudah sering terjadi, namun sikap jera dari hakim, pengacara dan panitera tidak juga jera alias takut. Kesalahannya dimana? Hakim atau Pengacara ?

Kalau melihat modus diatas permintaan berawal dari hakim yang berinisial K kepada JHS, dengan tekanan, kalau S mau bebas harus menyediakan fee sebesar Rp. 500 juta. Artinya kalau permintaan tidak dipenuhi maka S tidak akan dibebaskan dari tuntutan jaksa selama 5 tahun. Karena berkaitan adanya hubungan saling menguntungkan maka keduanya menyepakati itu.

Karena sikap saling menguntungkan itu dua-duanya menjadi salah, manakala perbuatan itu ketahuan. Kalau tidak, maka kasus tersebut tetap menjadi ladang bisnis haram yang mempunyai kepentingannya masing-masing tanpa saling menyalahkan satu dengan lainnya. Sebab sudah menjadi anekdot, urusan suap menyuap adalah hanya urusan sial dan tidak saja.

Untuk itu dalam rangka melanggengkan urusan suap menyuap, masih masing-masing pihak punya cara dan strategi tersendiri. Tiap-tap Hakim punya jalannya sendiri dengan membangun network yang kasat mata sulit di deteksi, dan dari situlah urusan suap menyuap tidak pernah bisa dihapus.

Mahkamah Agung boleh saja berteori dengan rumusannya, tapi di level tertentu ada ruang besar untuk membina permainan itu. Malah saya punya pengalaman pahit di salah satu pengadilan di bilangan Jakarta.

Uang konstinasi yang tersimpan di rekening Bank Mandiri milik pengadilan tiba-tiba raib, namun sebelumnya dirancang suatu skenario yang sulit dipahami oleh siapapun.

Padahal rekening tersebut ada dalam kuasa saya yang memblokir sebagai Penggugat,  karena dalam sengketa di pengadilan berkaitan sengketa lahan yang kena konstinatie. Tanpa ada a b c, tiba-tiba uang sudah di bagi-bagi ke pihak yang tidak jelas, klien saya sebagai pihak lenyap legal standingnya, karena digantikan dengan pihak-pihak yang tidak jelas, kenapa ? Entah. Sebab sebelumnya disana ada permainan yang terstruktur dan masif dan saya tantang MA kalau memang sudah bersih buka kasus ini, di sana kalau berani hebat.

Belum lama juga ada kejadian di salah satu pengadilan Jakarta dalam perkara eksekusi. Dan untuk bisa ditangguhkan harus ketemu petinggi di pengadilan tersebut, lalu dijawab tidak!!! Apa tanggapannya sang petugas pengadilan, nadanya mengejek. Apakah itu penanda adanya pembinaan Mahkamah Agung, menurut saya bukan.

Sehingga untuk pembenahannya harus di luar Mahkamah Agung. Dan barang kali bukan hanya etik tapi juga perilaku hakim dalam mengambil keputusan harus diserahkan kepada Komisi Yudisial. Sebab kalau pengawasan yang berkaitan dengan prilaku hakim tidak akan ada gregetnya.

Ditulis oleh : C. Suhadi, SH, MH Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) sekaligus Pengurus Pusat Advokat Indonesia Maju dan Koordinator Team Hukum Energy 01