HUKUM  

Pengamat Hukum Minta KPK Tak Bertele-Tele Usut Tuntas Dugaan Korupsi PT KBN

Jakarta – Pengamat Hukum Universitas Al-Azhar, Supardji Ahmad meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menyepelekan laporan dugaan korupsi di PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Menurut dia, jangan karena tidak menjadi perhatian publik secara khusus, KPK membiarkan dugaan korupsi di KBN tersebut. Sebagai lembaga penegak hukum, kata Supardji, KPK harus mengkaji, mendalami dan menindaklanjuti setiap ada laporan dugaan korupsi.

“Tentu KPK harus responsif. KPK tidak boleh diskriminasi untuk menindaklanjuti. Harus ada akuntabilitas publik. artinya harus ada semacam  laporan kepada pihak pelapor apa yang menyebabkan itu tidak ditindaklanjuti laporannya. Jangan sampai kemudian perkara itu bertele-tele tanpa kejelasan,” ujar Supardji kepada wartawan, Senin (15/7/2019).

Suparjdi menjelaskan ada beberapa kemungkinan kenapa KPK tidak juga memproses dengan cepat laporan dugaan korupsi di KBN. Diantaranya, kata Suparjdi, bisa saja karena adanya intervensi dari pihak terlapor, kurangnya alat bukti dan tidak adanya keterlibatan pihak pejabat publik dalam kasus tersebut.

“Jadi saya kira beberapa faktor itu mungkin saja berpengaruh terhadap penanganan sebuah perkara dalam hal pemberantasan korupsi. Dan biasanya suatu perkara kalau menjadi perhatian publik maka aparat penegak hukum atau KPK akan segera memproses tapi kalau itu sunyi dan senyap tidak menjadi konsen banyak orang, mungkin tidak tertlalu diprioritaskan,” tandas Supardji.

Lebih lanjut, Supardji meminta KPK agar tidak bertele-tele menangani sebuah laporan. KPK harus mencari solusi yang tepat sehingga perkara yang ditangani lembaga anti rasuah tersebut tidak menumpuk dan semua perkara dapat diselesaikan secara cepat.

“Dicarikan solusinya. Apakah disebabkan karena kurangnya penyidik sebagai penyebab tidak dikajinya perkara, maka salah satu altrnatifnya mengangkat penyidik independen supaya menambah SDM di kpk, sehingga perkara itu bisa diselesaikan secara cepat,” kata dia.

Sementara itu, koordinator Devisi Korupsi Politik Indonesia Corription Watch Indonesia (ICW), Donal Fariz mengatakan secara umum KPK dapat melakukan akselerasi dengan kerja-kerja yang profesional dan transparan. KPK jangan hanya melihat jumlah perkara tapi juga soal kualitas perkara yang harus diperhatikan. Kata dia, dalam jangka pendek KPK dapat memaksimalkan tenaga SDM yang ada dalam menuntaskan perkara.

“Semencara tahapan jangka panjang prioritaskan pada rekrutmen penyidik internal KPK sehingga tidak ada lagi ketergantungan jumlah maupun tenaga penyidik dari aparat pengegak hukum lainnya. inilah mungkin yang menjadi desain KPK ke depannya menuju rekrutmen penyidk internal KPK. sehingga lagi-lagi tidak ada lagi ketergantungan pada aparat hukum lainnya,” kata Donal.

Kendati demikian, Donal mengatakan KPK tidak berwenang merekrut Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena merekrut JPU adalah kewenangan Jaksa Agung sebagai mana diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, KPK tak dapat merekrut, mendidik dan melatih JPU.

“Sementara kalau bicara penuntutan itu tidak hanya KPK karena memang UU mengunci penuntutan itu berasal dari Kejaksaan Agung. Jadi KPK tidak bisa merekrut Jaksa Penuntut Umum sendiri atau tak bisa melatih Jaksa Penuntut Umum sendiri karena mekanismenya JPU itu diatur memang dari Kejaksaan Agung, tidak diberikan kewenangan kepada KPK merekrut, mendidik dan melatih sendiri,”.

Dugaan korupsi di KBN pernah dilaporkan oleh Front Masyarakat Anti Korupsi (F-MAKI) dan Keluarga Besar Nahdlatul Ulama Jakarta Utara (KBNU). F-MAKI menduga ada dugaan korupsi sekitar 7,7 milik PT Karya Citra Nusantara (KCN), anak perusahaan KBN. Sementara KBNU menemukan 20 kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 64,1 miliyar. F-MAKI dan KBNU kemudian mendesak KPK agar segera memeriksa Direktur Utama KBN, Sattar Taba.