HUKUM  

Konsep Omnibus Law, Perlu Lembaga Pusat Legislasi Nasional

Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya melaksanakan “omnibus law” sebagai kunci Indonesia maju usai melantik para menterinya yang duduk di Kabinet Indonesia Maju. Ini adalah yang kedua kali disampaikan Jokowi karena konsep tersebut pertama kali Jokowi sampaikan dalam pidato sumpah jabatan pada sidang MPR beberapa waktu lalu.

Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengatakan didalam dunia ilmu hukum, konsep “omnibus law”/Omnibus Bill merupakan suatu konsep produk hukum (bill) sapu jagat yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik (umbrella act),
Konsekwensi yuridisnya sesuai teori perundang-undangan ketika Bill itu di undangkan, maka membatalkan beberapa aturan hasil pengabungan/kompilasi serta substansi materinya dinyatakan tidak berlaku lagi,baik sebagaian maupun keseluruhan dari materi muatan undang-undang itu, inilah hakikat dari “consolidation law”

“Bahwa dengan mencermati berbagai problem hiper regulasi ditanah air, terlepas dari 74 undang-undang penghambat investasi dengan kata lain, “omnibus law” dengan amandemen pasar di 74 UU sektoral. Hal tersebut dapat dipandang tidak holistik jika penataan regulasi hanya disasar pada perundang-undangan disektor ekonomi saja, tapi ideal jika rencana penataan serta konsolidasi hukum dengan konsep “omnibus law” ini dapat di desain untuk suatu proyeksi penataan hukum nasional secara keseluruhan dengan membentuk lembaga khusus pusat legislasi nasional, sebagaimana pernah dijanjikan Jokowi saat penyampaian visi-misi beliau pada saat debat Capres,” ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/10/2019)

Menurut Fahri, secara yuridis memang terdapat beberapa problem hukum tetang pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti problem singkronisasi dan overlapping antara peraturan-perundang undangan, baik secara horizontal yaitu antara UU yang satu dan UU sektoral lainya dilevel pusat, maupun produk hukum tingkat daerah melalui Perda yang saling bertabrakan dengan UU. Begitu juga otoritas pembentukan UU oleh berbagai instansi pemerkarsa, mulai dari Kemenkumham, Baleg DPR maupun perangkat-perangkat teknis lainya sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan;

“Bahwa metode yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi berbagai produk peraturan perundang-undangan yang sangat rumit dan kompleks itu dapat digunakan suatu model sistem audit elektronik dari semua produk perundang-undangan tersebut, sehingga bisa diketahui dan dimengerti oleh semua pihak seperti jumlah UU, PP, Perda dan Perpres mengenai tanah, pajak, serta hutan yang cukup banyak dan sistemik itu. Bahwa dalam keadaan normal dan konvensional pasti sangat sulit dikerjakan, jadi kita memerlukan sistem audit norma hukum dengan memanfaatkan jasa teknologi yang berbasis IT,” tandas Fahri,

Disebutkan Fahri, bahwa melalui instrumen “omnibus law” yang merupakan “Beleid” penggabungan dan konsolidasi sejumlah peraturan (reggeling) menjadi satu UU sebagai payung hukum baru tersebut, maka pemerintah bisa membangun suatu sistem yang dapat menata ulang perundang-undangan di Indonesia yang lebih akuntabel dan kredible serta berdaya guna dan berhasil guna.

Melalui instrumen “omnibus law”/Omnibus Bill, Fahri menambahkan, diharapkan pemerintah tidak hanya terfokus pada sektor investasi dan pajak semata, melainkan menyisir pada semua bidang seperti HAM, sistem Pemilu, dan lingkungan hidup dan lain-lain.  Karena, kata Fahri, konsep bernegara kita bukan hanya untuk investasi tapi untuk membangun kesejahteraan dan keadilan bagi semua,termasuk sistem demokrasi dan pendidikan secara keseluruhan.

“Bahwa secara komparatif dan kajian ilmu hukum tata negara, mekanisme “omnibus law” atau Omnibus Bill pernah dilakukan oleh Irlandia untuk melakukan perampingan peraturan perundangan yang dilakukan hanya lewat satu UU “omnibus law” dan dapat menghapus sekitar +_ 3.225 UU, dan Irlandia dianggap sebagai rekor dunia capaian terbesar dalam praktek “omnibus law,” papar Fahri.

Fahri menjelaskan berdasarkan data ada sekitar kurang lebih 62 ribu regulasi yang tersebar di berbagai lembaga sektoral, yang potensial menghambat gerak maju pembangunan nasional kita. Untuk menyikapi hal tersebut, kata dia, diperlukan suatu terobosan hukum yang mendasar, futuristik, terukur dan sistemtis.

“Yang salah satunya melalui mekanisme Beleid “omnibus law” tetapi harus terkelola secara sistemik dan hati-hati, sebab tentu hal ini mempunyai implikasi secara teknis ketatanegaraan. Untuk itu dibutuhkan suatu Badan Khusus Pusat Legislasi Nasional yang kredible dan kapabel, agar kebijakan konsolidasi norma dan UU dapat dilakukan secara terencana dan tepat sasaran, sehingga keadaan hiper regulasi dapat diatasi,” tandas Fahri.

Menurut Fahri, konsep “omnibus law” sangat lazim diterapkan di negara-negara dengan konsep hukum Anglo Saxon, seperti AS, namun bukan berarti tidak dapat diterapkam di Indonesia. Jika kebijakan instrumen “omnibus law” dapat direalisir, kata Fahri, maka langkah selanjutnya adalah melakukan revisi terhadap instrumen hukum UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Karena ada beberapa konsekwensi teknis jika pemerintah harus mengadopsi konsep omnibus law, kerena struktur perundang-undangan di Indonesia secara teori belum mengatur secara spesifik tentang konsep ini,” tukas dia.

Disebutkan Fahri, memang ada problem baik secara teori maupun yuridis berkaitan dengan kedudukan UU “omnibus law” /Omnibus Bill nantinya, kerena konsep UU omnibus law belum diatur dalam UU nomor 15/2019 Jo. UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Menurutnya, jika mengunakan pendekatan sistem perundang-undangan nasional, maka UU omnibus law dapat dikualifisir sebagai UU payung (umbrella act) karena mengatur secara menyeluruh dan mempunyai daya ikat terhadap aturan yang lain.

“Tetapi Indonesia tidak mengenal UU payung, sebab struktur perundang-undangan di indonesia semua UU organik sama derajat dan daya ikatnya. Untuk kepentingan itu, maka untuk mengakomodir pengaturan tentang konsep omnibus law perlu diatur dengan melakukan revisi terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga mempunyai legitimasi secara yuridis. Hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi berbagai upaya hukum oleh pihak pihak dengan mempersoalkan di Mahkamah Konstitusi kelak,” katanya.

Fahri mengingatkan Indonesia  pernah mengeluarkan kebijakan hukum yang berkonsep seperti “omnibus law” seperti, TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 yang pada pokonya mengatur perihal TAP MPR mana saja yang dinyatakan berlaku dan tidak berlaku lagi

“Konsep “omnibus law” pemerintah harus didukung dalam rangka penataan sistem hukum dan pembangunan hukum yang konstruktif dan sejalan dengan prinsip konstitusionalisme,” tutup Fahri Bachmid.