HUKUM  

Sidang Pledoi, Kuasa Hukum Haji Deden Sesalkan JPU Tak Hadirkan Mantan Kapolri

Tiga kuasa hukum Haji Deden sedang melakukan sidang pembelaan (pledoi) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Persidangan perkara tindak pidana penipuan yang diduga dilakukan oleh terdakwa Deden Wahyudin Hasim bin KH. Hasim (66) selaku Direktur PT. Mega Bumi Karsa (PT. MBK) yang melakukan perjanjian kerjasama di bidang penambangan pasir dengan Nicolas Suitanto Muhadi (NSM) selaku Direktur Utama (Dirut) PT. Inti Akuistik Citra Mandiri (PT. IACM) memasuki tahap pledoi.

“Melalui Nota Pembelaan (Pledoi) ini, kami harapkan semua pihak dengan terang dan jelas, dapat memperoleh keyakinan mengenai apakah terdakwa telah terbukti bersalah atau tidak dalam perkara ini. Untuk itu kami anggap perlu, karena selama ini pendapat umum masyarakat, dimana dalam proses perkara ini terdakwa telah ditahan, seakan-akan terdakwa telah divonis telah melakukan tindak pidana penipuan dan merugikan orang lain, padahal justru sebaliknya terdakwalah yang dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian sebagaimana yang ditentukan, diatur, disepakati dan disetujui dalam perjanjian kerjasama usaha penambangan dan jual beli pasir antara PT. MBK yang dipimpin oleh Deden Wahyudin (terdakwa) dan PT IACM yang di pimpin oleh saksi Nicolas Suitanto,” terangnya dalam pledoi yang dibacakan kuasa hukum terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (9/7/2020) sore.

Setelah digelarnya persidangan, lanjut Kunang, Majelis yang memeriksa dan mengadili perkara ini kiranya telah mendapatkan gambaran utuh tehadap apa yang sebenarnya terjadi dalam perkara ini yakni adanya perjanjian kerjasama penambangan pasir yang didalamnya ada perjanjian hutang piutang/pinjaman uang antara pelapor dengan terdakwa, dimana perjanjian aquo telah dilaksanakan oleh terdakwa dengan itikad baik.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya realisasi pengiriman pasir kepada saksi sesuai dengan jumlah yang ditetapkan oleh saksi dan penerimanya yaitu PT Waskita Karya. Juga terhadap uang yang telah diterima terdakwa yang statusnya pinjaman telah digunakan oleh terdakwa untuk membebaskan lahan, membangun jalan dan jembatan walaupun belum selesai karena berbagai hal.

“Intinya tidak ada uang pelapor yang disalahgunakan oleh terdakwa, bahkan terdakwa juga mengeluarkan uang pribadi yang tidak sedikit, untuk menyelesaikan pembuatan jalan dimaksud, tapi akhirnya justru terdakwa yang jadi korban, karena sejak kerjasama dengan pelapor sejak itu pula terdakwa tidak lagi menerima penghasilan dari tambang miliknya,” ungkapnya.

Kunang menilai dari rangkaian proses persidangan ini pihaknya masih bertanya-tanya terhadap sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sangat memaksakan tetap menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun atas tindak Pidana Penipuan (pasal 378 KUHP), padahal terang dan jelas dalam persidangan terbuka untuk umum, kita sama menyaksikan dan mencatat satu demi satu fakta, bukti-bukti, keterangan saksi-saksi, sama sekali tidak ada satupun unsur sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP yang terpenuhi, timbul pertanyaan untuk kepentingan apa dan siapakah sehingga JPU ingin sekali terdakwa tetap dipenjara baik terbukti ataupun tidak, pokoknya harus dipenjara 2 tahun.

“Menurut pandangan kami, penegakan hukum bukanlah untuk menghukum seseorang hanya untuk memuaskan pihak lain yang punya kepentingan atau untuk melampiaskan kemarahan seseorang karena memiliki kekuasaan melainkan untuk tegaknya aturan dan orang lain mendapat keadilan atas kesalahan yang dilakukannya, begitu juga sebaliknya jangankan jika tidak dipenuhi unsur, atau bukti yang tidak cukup, fakta yang meragukan maka putusanya harus menguntungkan terdakwa. Dalam perkara ini ada kesan dalam perkara aquo dengan laporan-laporan lainnya yang dilakukan oleh saksi pelapor, bukan lagi untuk menegakkan aturan hukum melainkan sudah menjadi ajang atau sarana untuk memenjarakan terdakwa demi kepentingan pihak lain mencapai tujuannya dalam hal ini kepentingan ekonomi,” tegasnya.

Kepada majelis hakim, kami berharap agar dalam mengadili perkara ini dengan pikiran yang jernih dan obyektif karena tanpa pikiran yang jernih dan obyektif, dalam menilai suatu fakta, maka dikhawatirkan akan diperoleh separuh kebenaran. Sedangkan separuh kebenaran itu, adalah lebih buruk dari seluruh kebohongan. Dan hal itu dapat mengakibatkan terjadinya peradilan sesat, yaitu akan dihukumnya orang yang sesungguhnya tidak bersalah. Sedangkan dihukumnya seorang yang tidak bersalah, adalah merupakan urusan dari semua orang yang berpikir.

Sebagai penasehat hukum tentu sangat berharap agar klien yang dibelanya tidak semata-mata supaya memperoleh keputusan yang adil, karena merupakan kewajiban bagi semua orang, tapi lebih jauh dari itu kami merasa bertanggung jawab untuk mengajak semua pihak, agar dalam setiap proses peradilan dapat dihasilkan putusan yang betul-betul sesuai dengan tujuan hukum untuk tegaknya keadilan.

“Jangan sampai pengadilan salah dalam mengambil keputusan, akibatnya pengadilan bukan lagi tempat mendapatkan keadilan tapi berubah menjadi tempat dibangunnya kejahatan oleh mereka yang punya kepentingan dan kemampuan,” tukasnya.

Kronologis awal hingga berakhir di meja hijau, yaitu ketika terdakwa sebagai pimpinan PT Mega Bumi Karsa (MBK) dan pemilik lahan tambang pasir di Desa Pasir Buncir Kec Caringin Bogor, dengan lahan tambang seluas ± 40 ha, yang terdiri dari 2 buah sertifikat SHGU yaitu SHGU 347 dan SHGU 348 dan izin tambang SIPD atau IUP 541.3/481 (berlaku hingga tahun 2023).

“Berdasarkan hasil penelitian Dinas ESDM Kabupaten Bogor Jawa Barat, kandungan pasir yang terdapat pada lokasi yang diperjanjikan berdasarkan izin SIPD 541.3/481 yakni SHGU 347 dan SHGU 348 diperkirakan mencapai lebih 25.000.000.m3 sebagaimana juga berdasarkan kajan Dinas ESDM Bogor (BRET) dan Tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 (Vide Bukti T – 8 dan T- 11) artinya untuk memenuhi kebutuhan dari Perusahan Pelapor sebesar 6.000.000 m3 dapat dipenuhi melalui SHGU 348,” katanya.

Padahal, ungkap Kunang, perusahaan terdakwa PT MBK telah menambang dilokasi SHGU 348 sejak tahun 2009 s/d 2017 di luasan +/- 1.6 ha dari total luas lahan +/- 12 ha pada SHGU 348 dan menghasilkan +/- 1.000.000 m3 dan lokasi ini masih digunakan juga oleh perusahaan pelapor untuk menambang.

SHGU 348 telah dilakukan permohonan perpanjangannya sebelum tahun 2012 dibuktikan dengan Surat Bupati Bogor kepada Kanwil BPN Propinsi Jawa Barat pada 29 Maret 2012 yang merekomendasaikan Perpanjangan SHGU No.348 /Pasir Buncir seluas 116.680 m2 (Vide Bukti T- 37.a.) dilanjutkan oleh perusahaan terdakwa pada tahun 2018 (Vide Bukti T – 37.) akan tetapi karena prosedur birokrasi sampai dengan saat ini proses perpanjangan belum tuntas.

Sedangkan terdapat kesimpulan gugurnya tuntutan dalam perkara perjanjian, yaitu:

1. Pelapor telah melakukan pengambilalihan penambangan, maka sejak saat itu gugur sudah semua kewajiban terdakwa sebagaimana tertuang dalam akta perjanjian no. 2 tanggal 4 April 2018. Karena terdakwa tidak mungkin lagi dapat melakukan prestasinya sebagaimana perjanjian sebelumnya, karena terhalang oleh pelapor.

2. Pelapor telah wanprestasi terlebih dahulu. Pelapor tidak memberikan uang muka (DP) pembelian pasir sebagaimana di janjikan. Tidak membayar pasir yang dibelinya dari terdakwa. Pelapor tidak memberikan hak-hak terdakwa.

3. Pelapor juga telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena menggelapkan hak-hak terdakwa dari penjualan pasir. Melakukan penambangan yang bukan untuk keperluan PT Waskita. Mengambil hasil tambang milik terdakwa yang tidak diperjanjikan. Tidak memberitahukan berapa hasil tambang dan berapa hak terdakwa. Melarang pihak terdakwa datang ke lokasi tambang miliknya. Melarang pihak terdakwa mencatat kegiatan pengiriman pasir.

4. Akibat dari pengambilalihan penambangan dan telah dilanggarnya seluruh isi perjanjian oleh pelapor (wanprestasi dan Perbuatan melawan hukum), maka dengan sendirinya perjanjian tersebut telah gugur alias batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.

5. Tindakan pelapor masih menuntut terdakwa memenuhi seluruh isi perjanjian sementara pelapor sendiri tidak melaksanakan kewajibannya adalah tindakan premanisme, pemaksaan kehendak, bar-bar dan melawan hukum.

Bahwa oleh karena persidangan dan nota pembelaan (pledoi) ini telah selesai kami uraikan satu persatu, maka dengan segala kerendahan hati kami penasihat hukum terdakwa, memohon dengan hormat kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang mengadili perkara ini berkenan untuk memutuskan :

1. Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU tidak satupun dapat dibuktikan di persidangan. karenanya terdakwa Haji Deden Wahyudin Hasim Bin KH Hasim tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam dakwaan dan Surat Tuntutan.

2. Membebaskan terdakwa Haji Deden Wahyudin Hasim Bin KH Hasim dari dakwaan dan tuntutan tersebut (Vrijspraak) sesuai Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslaag van alle rechtvervolging) berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan (rehabilitasi), kedudukan dan harkat serta martabatnya.

4. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Di dalam sidang tersebut kuasa hukum Haji Deden menyesalkan karena JPU tak menghadirkan beberapa pihak salah satunya adalah mantan Kapolri. Permintaan itu terjadi pada sidang saksi JPU, dimana kuasa hukum meminta kepada majelis agar JPU untuk menghadirkan BH, Ampi, Rusli G, Felix dan notaris sehingga saat pledoi pun diulas kembali.

“Padahal keterangan mereka sangat dibutuhkan tetapi JPU tak bisa menghadirkannya. Mantan Kapolri yang diduga diikutsertakan dalam perkara ini juga sedang nenjabat di salah satu perusahaan BUMN, kok bisa ya seorang mantan petinggi kepolisian mau melakukan hal demikian?, “tegas Kunang yang juga merupakan relawan pemenangan Jokowi tersebut.