HUKUM  

LPSK Siap Lindungi Korban dan Saksi Kasus Dugaan Ujaran Rasis terhadap Natalius Pigai

JAKARTA, NUSANTARAPOS – Ujaran bernuansa rasisme tidak bisa dibiarkan karena dikhawatirkan berdampak pada meruncingnya perbedaan di masyarakat. Keberanian aparat penegak hukum memproses pelaku secara imparsial, tanpa memandang siapa dan berafiliasi pada kekuatan politik manapun, sangat dinantikan publik. Bahkan, ini menjadi tantangan yang harus mampu dijawab Kapolri baru.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution menegaskan, LPSK siap melindungi saksi dan korban pada kasus ujaran bernuansa rasisme sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan adanya perlindungan, diharapkan saksi maupun korban ujaran rasisme akan berani “bersuara” dan memperjuangkan keadilan.

“Tindakan dan ujaran rasisme terhadap siapapun dan dengan dalih apapun, di samping penistaan terhadap kehormatan kemanusiaan, juga a-historis dan pengingkaran terhadap sejarah bangsa Indonesia sendiri sebagai bangsa yang majemuk, multikultur,” tegas Nasution di Jakarta, Kamis (28/1-2021).

Kasus ujaran bernuansa rasisme teranyar menimpa mantan Komisioner Komnas HAM RI asal Tanah Papua, Natalius Pigai. Perlakuan rasis di media sosial terhadap Pigai bahkan bukan kali pertama. Para pelakunya juga secara terbuka menyatakan diri berafiliasi pada politik tertentu.

Menurut Nasution, para pelaku ujaran rasisme tidak boleh diberi ruang di republik ini. Perbuatan itu dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. “Pelaku (ujaran rasisme) harus segera meminta maaf secara terbuka kepada Pigai dan publik Indonesia, khususnya rakyat Papua, serta berjanji tidak akan mengulangi hal yang sama di masa mendatang,” pinta Nasution.

Nasution mengimbau publik tidak mudah terprovokasi untuk main hakim sendiri. Dia mengajak publik menaruh harapan dan kepercayaan bahwa kepolisian negara dapat menuntaskan kasus bernuansa rasisme tersebut secara profesional, transparan, dan imparsial. “Mendorong negara terutama pemerintah hadir memastikan agar peristiwa yang sama tidak terulang pada masa mendatang (guarantees of nonrecurrence),” ujarnya.

Untuk itulah, Nasution mendorong kepolisian responsif dan progresif menuntaskan kasus tersebut. Dia mengingatkan, keterlambatan penanganan aksi rasis seperti pada tahun 2019 lalu, yang akhirnya memicu protes besar warga Papua selama berbulan-bulan. “Pada tahun itu, korban rasisme adalah orang Papua di asrama mahasiswa Surabaya. Kita tentu tidak berharap situasi demikian,” imbuh Nasution.

Selain itu, Nasution mendorong Komnas HAM menggunakan mandatnya melakukan pemantauan terhadap kasus bernuansa rasisme sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. “Khusus kepada penegak hukum agar dapat memberikan sanksi tegas bagi para pelaku rasisme oleh siapapun, terhadap siapapun, dan dengan dalih apapun,” pungkasnya. (Rilis)