Pengamat : Tambang Memang Milik Kita, Tapi yang Investasi Freeport

Jakarta, nusantarapos.co.id – Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, mengkritik akuisisi saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah melalui PT Inalum. Menurutnya hal ini tak perlu dilakukan, mengingat area tambang yang dikelola Freeport sejak awal bukan kepunyaan asing, melainkan milik Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, pengamat hukum C Suhadi, menilai langkah akuisisi saham sebesar 51,2 persen oleh badan usaha milik negara (BUMN) tersebut sudah tepat. Namun sebelum saya mengupas lebih jauh, ada baiknya saya akan jelaskan dulu arti perusahaan atau badan hukum.

“PT. Freeport adalah perseroan yang berbadan hukum dalam bentuk PMA (Penanaman Modal Asing) dan oleh karenanya tunduk kepada undang-undang perseroan secara umum. Dalam pemahaman secara umum perseroan punya dua bahkan tiga kekayaan, baik yg bergerak maupun yang tidak bergerak,” katanya di Jakarta, Selasa (25/12/2018).

Lanjut Suhadi, yang bergerak yaitu mesin mesin (tehnologi) termasuk di dalamnya saham dan atau surat berharga lainnya yang melekat di dalam perusahaan, juga punya aset yang tidak bergerak berupa lahan tambang dan terakhir punya goodwill dalam mengelola tambang. Keduanya bahkan ketigaan melekat dan menjadi bagian dari perusahaan, kendati lahan konsesi milik Indonesia namun setiap yang dihasilkan dalam perusahaan akan diakui sebagai milik Freeport. Freeport telah berinvestasi guna membangun infrastruktur untuk mengeksplorasi sumber daya alam di sana.

“Barangkali akan menjadi susah dan dilema apabila dalam mengembalikan aset tersebut secara terpisah, karena satu dengan lainnya saling melekat, yaitu dalam koridor perusahaan. Sangat engga mungkin dalam nego seperti itu pemerintah hanya bicara pada konsessi saja, tentunya PT Freeport akan tidak mau dan bukan itu saja, tidak mungkin bisa karena antara aset dan wilyah konsesi tidak dapat dipisahkan,” ujarnya.

Menurut Suhadi, kalau pengambil alihan seperti yang dimaksud dengan cara penguasaan lahan (konsessi) itu namanya menyuruh pergi Freeport dari Papua atau Indonesia kemudian juga suruh angkat investasi berupa segala tehnologinya, ini sih orang gila namanya. Terus kalau model kaya gitu apa kita dapat mengelola lahan yang membutuhkan tehnologi tinggi dan canggih itu dan tentunya harus beli lagi dong asset yang sudah diangkat.

“Juga sebaliknya, kalaupun kita suruh pergi begitu saja, Freeport akan meminta ganti rugi semua investasi yang sudah melekat disana, artinya Indonesia akan tetap mengeluarkan uang dong untuk mengelola tambang di sana. Bahkan bukan hanya aset akan tetapi juga kerugian yang akan di tuntut ke perusahaan Indonesia,” urai relawan Jokowi-Amin itu.

Maka dalam menyikapi masalah ini, tambah Suhadi, pemerintah yang diwakli Menteri Jonan, sangat cerdas, pembahasan bukan lagi kepada aset seperti yang ada dipikiran orang orang yang mengkritisi kebijakan Presiden, tapi saham atau dalam hukum surat berharganya yang nantinya untuk mengukur keuntungan keuntungan yang didapat dari hasil produksi Freeport. Dan kalau saham bicaranya kepada akusisi.

Penggunaan istilah “akuisisi” juga dipandang tepat mengingat karena tidak ada istilah lain yang mempunyai payung hukun dan akusisi dikenal secara yuridis, selain itu transaksi berlangsung antara bussines to bussines (B2B) atau perusahaan dengan perusahaan, bukan transaksi antar perusahaan dengan pemerintah.

“Untuk menguasai saham tersebut jalannya kita harus mengakuisinya. Jika sudah diakuisisi itu artinya saham secara Mayoritas telah dikuasai oleh Indonesia. Karena bagaimanapun Freeport telah berinvestasi dengan menyediakan alat-alat pertambangan,” imbuhnya.

Calon anggota legislatif Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu merasa aneh dengan pihak-pihak yang mempersoalkan divestasi saham oleh pemerintah. Sebab dahulu Freeport kerap kali dijadikan salah satu isu aset bangsa yang harus dikuasai kembali oleh pemerintah dari asing. Namun ketika sahamnya mayoritas telah dikuasai, justru diperkarakan dengan berbagai dalih.

“Lihatlah prospek pemikirannya ke depan apa yang didapat. Saya kemarin melihat potensi Rp 484 triliun yang didapat, kalau kita sekarang mengeluarkan uang hanya Rp 56 triliun, hasilnya itu hanya dalam sekejap mata,” tandas Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja).