Cegah Radikalisme dan Khilafah, Ideologi Pancasila Harus Dipertahankan

Seluruh narasumber dan moderator Diskusi Publik "Mengembangkan Patriotisme dan Nasionalisme Menghadapi Tantangan Zaman Kekinian" berfoto bersama usai kegiatan.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Relawan Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) dan komunitas Kita Tidak Takut (KTT) mengadakan diskusi publik bertemakan “Mengembangkan Patriotisme dan Nasionalisme Menghadapi Tantangan Zaman Kekinian” di Hotel Rivoli, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).

Turut hadir dalam diskusi tersebut Denny Siregar, K.H Taufik Damas, Ustadz Yuke Sumeru dan Syaian Choir (Dosen Ilmu Pemerintahan Darul Ulum), Stanislaus Riyanta (Pengamat Intelijen dan Terorisme) serta C. Suhadi (Ketum Ninja) didaulat sebagai moderator dalam acara tersebut.

Menurut Syaian Choir selaku Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Darul Ulum, untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan konsep khilafah maka ideologi Pancasila harus terus dipertahankan.

“Konsep khilafah yang digaungkan sekelompok orang, seperti HTI, bukan hanya bahaya laten bagi Indonesia. Sebab, sudah banyak generasi muda dan anggota TNI yang terpatri pada konsep khilafah,” kata saat berbicara di depan peserta diskusi, Kamis (22/8/2019) malam.

Padahal, lanjut dia, jantung negara ada di pemuda dan tentara. Sudah banyak penelitiannya, ada Wahid Institute.”Jangan sampai ada ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan konsep khilafah demi menjaga ideologi Pancasila,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat Intelijen dan Terorisme, Stanislaus Riyanta, memaparkan tentang ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia yang sudah terjadi dan nyata.

Sejak tahun 2000-2018, disebutkan, lebih dari 1.700 orang diproses hukum karena tindak pidana terorisme.

“Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus terorisme di Indonesia bukan angka yang kecil,” ungkapnya.

Menurut Stanislaus, kasus terorisme dimulai dari perilaku intoleran, radikal kemudian aksi teror. Di dalam tren Industri 4.0 ini kecenderungan radikalisasi lebih cepat dan lebih mudah karena adanya teknologi internet.

“Kelompok yang disasar adalah generasi muda yang sedang masa mencari jati diri,” katanya.

Proses paparan yang sangat cepat dan sumber referensi tentang gerakan radikal dan terorisme dengan mudah diperoleh membuat trend radikalisme dan terorisme di kalangan muda meningkat.

“Jika melihat fakta yang ada maka radikalisme sudah masuk ke berbagai sektor. Pernyataan Menhan bahwa tiga persen anggota TNI terpapar radikalisme adalah situasi yang serius,” katanya.

Sebelumnya, tambah Stanislaus, diketahui bahwa ada pegawai BUMN yang menjadi donatur teroris di Riau, pejabat BP Batam yang gabung dengan ISIS di Suriah, eks pegawai Depkeu yang menjadi simpatisan ISIS, bahkan 3 alumni IPDN diketahui terlibat terorisme.

“Radikalisme juga sudah masuk dalam lingkungan Polri. Beberapa waktu yang lalu Polwan di Maluku Utara ditahan di Jatim karena diduga terpapar paham radikal. Anggota Polres Batanghari juga diklaim gabung dengan ISIS di Suriah yang selanjutnya dikabarkan sudah tewas,” ucapnya.

Stanislaus mengungkapkan jika radikalisme sudah terjadi mulai Paud hingga perguruan tinggi.”Perlu adanya suatu gerakan nasional yang bisa menciptakan kontra narasi terhadap paham radikal. Gerakan ini lebih efektif kalau dilakukan oleh civil soviety melibatkan dengan para ahli,” tutupnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Ninja C. Suhadi usai menjadi moderator mengatakan saat ini tidak ada lagi pendukung 01 atau 02. Karena yang ada saat ini adalah 03, dimana persatuan Indonesia harus dijunjung tinggi untuk kemajuan bangsa.

“Kita harus menolak segala macam bentuk radikalisme atau intoleransi, karena itu bisa merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kini kita sama- sama menjaga keutuhan bangsa ini, jangan ada lagi pertikaian karena selisih pendapat,” tegasnya.(Hari.S)