Anthon Sihombing : Pelarungan ABK Diperbolehkan Jika Telah Memenuhi Persyaratan Yang Ada

Ketua Umum Ketua Umum Ikatan Nahkoda Niaga Indonesia (INNI), Anthon Sihombing.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Ketua Umum Ketua Umum Ikatan Nahkoda Niaga Indonesia (INNI), Anthon Sihombing meminta pemerintah memastikan apakah kapal Long Sing 629 berbendera China yang melakukan pelarungan jenazah (buried at sea) terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia, telah mematuhi ketentuan yang ada. Seperti yang tertuang dalam International Maritime Organization (IMO).

“Jadi pemerintah tolong mengkroscek melalui KBRI kita atau atase, tim kita, sampai di mana pemerintah China mengimplementasikan aturan-aturan dari IMO,” ujar Anthon di Jakarta, Minggu (10/5/2020).

Ia meminta pemerintah Indonesia memastikan melalui aparat terkait, ada tidaknya pelanggaran dalam peristiwa yang rekaman videonya viral di media sosial tersebut.

Meski begitu, Anthon yang juga Ketua IMO Watch itu, menyebut pelarungan jenazah bisa dilakukan, asal memenuhi sejumlah syarat. Syarat ini sesuai peraturan internasional dan aturan hukum di Indonesia.

Antara lain, nahkoda harus menjelaskan alasan kenapa jasad harus dilarung, dan di mana posisinya.

“Kalau memang jauh dari pantai atau ke suatu pelabuhan itu adalah hal yang wajar,” kata dia.

Pelarungan jenazah juga boleh dilakukan apabila saat itu kapal berada di perairan internasional, dan tidak ada tempat penyimpanan jenazah di kapal. Lalu jasad diduga membawa penyakit menular.

“Di samping itu juga nahkoda yang berkoordinasi dengan pelabuhan terdekat di negara tersebut, menolak (jenazah) karena ada indikasi jenazah memiliki penyakit menular,” jelasnya.

“Seperti di Jepang peraturan sangat ketat sekali, hal itu terjadi pada tahun ’70-an dan ’80-an. Ada bangkai ular satu saja mati langsung distop itu kapal, kapal langsung dikarantina, apalagi kalau manusia,” imbuh Anthon.

Selain itu, ada juga kekhususan bagi kapal-kapal ikan seperti yang diatur dalam Torre molinos protokol di Spanyol dan Cape Town Agrement yang dibuat IMO aturan-aturan tambahan khusus bagi kapal ikan, dimana kapal tak diperbolehkan membawa jenazah. Kemudian ILO Seafarer’s Service Regulation, yang telah mengatur prosedur pelarungan jenazah (burial at sea).

“Saya dulu pernah berlayar ke Bremen, New Orleans, Amerika, dari Amerika ke Jepang utara itu memakan waktu 45 hari. Di tengah pelayaran ada kejadian serupa, langsung kita larungkan. Hal tersebut juga pernah dilakukan kapal Pelni, kapal pemerintah,” jelasnya.

Perketat Pengawasan Terhadap ABK

Ke depan, pemerintah diharapkan lebih ketat dalam memberikan izin bekerja bagi ABK atau pelaut-pelaut Indonesia yang hendak bekerja di kapal asing. Ia ingin ada pelatihan yang jelas, dengan standar internasional, sebelum akhirnya mereka diberangkatkan.

“Dan harus jelas perjanjian kerjanya itu namanya working agreement setiap perjanjian kerja jelas apa kewajiban perusahaan, dan apa kewajiban daripada si anak buah kapal. Itu jelas, diatur penggajiannya bagaimana kalau seandainya dikatakan dikasih air laut dan kerja sampai 30 jam,” papar Anthon.

Menurut Anthon, saat ini pelaut kita di luar negeri lebih dari 900 ribu orang yang sebagian kecil di kapal-kapal ikan akan tetapi kita (pemerintah) tidak mempunyai data yang pasti karena Departement Tenaga kerja dan Departement Perdagangan mengeluarkan izin seyogiyanya Dephub dan dilaksanakan oleh Dirjen Hubla surat izin Perekrutan dan Penempatan pelaut dan sesuai standard IMO dan STCW dan sama untuk semua ABK di dunia ini jadi sama dengan pengiriman atau penempatan.

“Pengawasan terhadap mereka juga diharapkan ditingkatkan. Caranya dengan membentuk satuan tugas (satgas) oleh para asosiasi yang ada. Sebab, jika dikerjakan sendirian oleh pemerintah seperti sekarang, menurutnya takkan optimal. Hal itu terbukti dengan adanya kejadian saat ini,” katanya.

Untuk itu, tambah Anthon pemerintah harus meningkatkan pelatihan-pelatihan dan mensosialisasikan secara detail bagaimana kondisi dan resiko bekerja di kapal ikan. Saat ini perusahaan kapal ikan dunia masih merekrut ABK kapal ikan dari Skandinavia, Thailand, China, dan Vietnam karena mereka umumnya pekerja keras.

“Pemerintah harus meningkatkan pengawasan dengan membuat satgas dan memantau selama 24 jam bagaimana kondisi pelaut-pelaut kita serta menyeleksi para agen atau perusahaan penempatan ABK harus melindungi mereka tentang kesejahteraan serta hak dan kewajiban ABK dan perusahaan. Apakah mampu bekerja 1 tahun di kapal dan terkait asuransi biasanya di Cover P&I Club,” ucapnya.

Selain itu, sambung Anthon perjanjian kerja laut (working Agreement) harus di endors pejabat pemerintah yang ditunjuk langsung oleh Syahbandar dan KBRI serta semua pihak memahami isinya. Tidak ada lagi dan tidak musim keagenan memotong gaji pelaut, jangan sampai kejadian serupa terulang sehingga menjadi viral dan menjadi isu nasional.

“Sejatinya bekerja di kapal ikan itu sangat berat sekali dan ada kekhususan. Selain harus kerja keras orang yang bekerja di kapal ikan harus memiliki fisik serta ethos kerja yang tinggi. Karena kalau sedang bekerja menangkap ikan itu bisa non stop dan kalau sedang tidak menangkap ikan banyak istirahat,” tegas anggota DPR periode 2014-2019 itu.