OPINI  

Wahdatul Wujud, Gema Natal di Masa Pandemi

Ilustrasi Natal (foto : Nusantara Eflata/Joshua Ervan)

Oleh : Dyah Monika Sari

Sejarah Natal adalah sejarah kemeriahan. Bagi banyak orang, Natal bukan hanya perayaan ibadah bagi umat Kristiani, melainkan sebagai penanda pergantian tahun. Perayaan natal selalu identik dengan atribut yang dibesarkan pasar. Pohon Natal, kado-kado, terompet, dan topi khas Sinterklas menjadi entitas yang tak tertinggal.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 masih menjadi momok. Menjelma pengalaman akan “batasan-batasan” yang kuat. Sejenak membuat kita terhenyak dengan cepatnya pandemi telah berada di depan pintu rumah kita, meminta diri untuk mengubah kebiasaan hidup dengan batasan yang nyata. Merayakan Natal adalah salah satunya.

“Natal dalam suasana pandemi memang sangat berbeda, sekalipun ini bukan natal pertama di saat seluruh dunia dalam keprihatinan yang besar. Namun situasi seperti ini justru memberikan arti yang besar. Agar apa yang biasanya dilakukan dapat dipikirkan ulang dan dijalani dengan cara yang berbeda”. Demikian adalah pendapat dari Kristanto Budiprabowo, seorang Budayawan sekaligus tokoh lintas agama.

Dalam wawancara singkat yang dilakukan via online pada tanggal 21 Desember 2020 lalu, ia mengatakan bahwa, sekalipun Natal tidak dirayakan sebagaimana biasanya, pesan Natal masih menjadi relevan jika ditempatkan dalam semangat keprihatinan bersama seluruh umat manusia. Bahwa kita adalah makhluk yang selalu berusaha untuk saling melindungi, saling membantu dan menolong terutama dalam situasi yang sulit seperti ini. Justru baginya, merayakan Natal di masa pandemi memberikan kesempatan untuk merefleksikan diri tentang arti Wahdatul Wujud, atau manunggaling kawula gusti dalam pandangan orang Jawa.

Apa yang disampaikan oleh Romo Tatok, begitu budayawan asal Malang itu akrab disapa, mengingatkan kepada saya terkait sebuah survey. Loyola Hall Research Centre di Lahore, Pakistan, pada awal Juni 2020 membagikan kuesioner dalam format google forms.

Pada awalnya, kuosioner tersebut dirumuskan dalam Bahasa Inggris dan diberlakukan di Pakistan, Srilanka, lalu India. Oleh beberapa responden, kuesioner tersebut dikirim ke beberapa kolega mereka yang berada di sejumlah negara lain. Kemudian atas dasar masukan dari sejumlah pihak, kuesioner tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan disebarkan pula ke Indonesia.

Tujuan survey tersebut adalah untuk mengetahui dinamika keimanan setelah pandemi covid-19 pada tingkat pemahaman, ungkapan, dan perwujudan. Selama 1 bulan, berkisar antara tanggal 9 Juni-9 Juli 2020, jumlah responden mencapai 365 orang dengan prosentase perempuan sebanyak 199, dan laki-laki 166. Dalam kaitannya dengan iman yang dipeluk oleh responden, mereka yang beragama Islam berjumlah 180, Kristiani 177, Hindu 3, Budha 1, Agama tradisional 1, dan lain lain 3. Sebagian besar responden brasal dari kalangan dosen dan pelajar, dengan latar pendidikan di level BA/S-1, Dan MA/S-2.

Yang menarik, ada seorang responden dari sebuah kota di Pakistan yang menjawab dalam Bahasa Inggris, beberapa pertanyaan terbuka dengan menyebut secara eksplisit nama Syaikh Al Akbar, seorang Muhyidin Ibn ‘Arabi. Berikut adalah kutipannya. “Therefore, the forced isolation is a sign to human being that we need to go back to theese religious practices in oreder to come closer to God. As the Syaikh Al Akbar, The Great Syaikh, Ibn ‘Arabi states, we need to be “alone with the Alone. In Islam, this practice of isolating oneself from the world to worship God is called khalwa”.

Layak diketahui, bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang figur penting yang berpengaruh dalam pemikiran metafisika sekaligus mistik. Ia mengembangkan cara pandang yang mebedakan antara pengetahuan dan insight yang mau menyingkap hakekat dari segala sesuatu. Khalwat, berdasarkan jawaban dari kuesioner di atas hendak mengatakan, bahwa lockdown dan segenap pembatasan yang terjadi disebabkan oleh covid-19 adalah suatu bentuk pengambilan jarak dari kesibukan sehari-hari, perayaan, keramaian dan kemeriahan yang dijalani bersama-sama, termasuk perayaan Natal, untuk melakukan olah pikir, olah rasa, olah batin di kedalaman diri, sendiri (alone), semata-mata bersama Dia saja (with The Alone). Alone with the Alone sendiri merupakan kristalisasi dari pemikiran Ibn ‘Arabi, yang disintesakan sendiri oleh Henri Corbin, seorang pemikir berkebangsaan Prancis.

Lantas, apa arti natal yang sesungguhnya? Senada dengan konsep Ibn ‘Arabi tentang wahdatul wujud, bagi Romo Tatok, natal adalah suatu peristiwa dimana manusia membangun harapan baru. Ialah momen dimana manusia menemukan alternatif kedua didalam kehidupannya. Tak hanya itu, perayaan natal di masa pandemi ini hendaknya memberi peluang bagi manusia untuk memaknai kembali kehidupannya yang dekat dengan tuhan, yang mampu memahami maksud dan kehendak tuhan, dan itu dapat diwujudkan secara natal.

Ia, melalui pesan natal yang diunggah di akun instagramnya mengungkapkan, bahwa di masa pandemi seperti ini, subsidi berupa paket wifi gratis jauh lebih bermanfaat ketimbang perayaan natal sebagaimana biasa, yang menurutnya hanya menunjukkan gengsi dan jauh dari esensi natal itu sendiri.