Jakarta, Nusantarapos – Kamis, 17 November 2022, dokter paru sedunia akan merayakan hari PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis). Merayakan untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat mengenai penting penyakit paru ini disoroti.
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat global dan Indonesia. Bagaimana tidak? PPOK adalah salah satu dari 3 penyebab kematian secara global dan terjadi pada 384 juta penduduk dunia. Di Indonesia sendiri berdasarkan Riskesdas 2013, total estimasi penderita PPOK adalah 3.7%.
Berdasarkan GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) tahun 2021, Pengertian PPOK adalah Penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat ditangani. Memiliki karakter gejala pernapasan dan keterbatasan aliran udara yang persisten dan progresif, Karena abnormalitas saluran pernapasan dan/atau alveolar, Yang umumnya disebabkan oleh pajanan partikel atau gas berbahaya (dalam hal ini salah satu yang menjadi penyebab utama adalah rokok).
Dalam mendiagnosis PPOK, dokter paru akan melihat gejala yang muncul, faktor risiko pasien dan pemeriksaan spirometri untuk menegakkan diagnosis. Gejala yang biasa muncul adalah napas pendek, batuk kronik berdahak. Faktor risiko yang biasa dinilai adalah pajanan terhadap asap rokok dan polusi udara serta jenis pekerjaan pasien apakah terpajan dengan asap atau tidak? Berdasarkan gejala dan faktor risiko, dokter kemudian menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan spirometri.
“Tujuan pengobatan PPOK yang stabil adalah: mengurangi gejala dan mengurangi risiko. Mengurangi gejala untuk memperbaiki kemampuan beraktivitas dan memperbaiki status Kesehatan. Mengurangi risiko untuk mencegah perkembangan penyakit, mencegah serangan akut dan menurunkan risiko kematian. Mengingat bahwa PPOK tidak dapat disembuhkan maka pencegahan dan deteksi lebih dini akan jauh memberikan manfaat yang lebih besar, ” ujar dr. Arief Bakhtiar, Sp.P, Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (Paru) melalui zoom, Rabu (16/11/2022).
Salah satu upaya untuk mendeteksi lebih dini agar penderita tidak terlanjur jatuh ke dalam kondisi yang lebih berat, saat ini PDPI bersama pemerintah akan menggalakkan penemuan dini PPOK dengan menggunakan skor PUMA. Yang akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan spirometri (faal paru).
Secara umum meliputi: edukasi, berhenti merokok, menghindari pajanan polusi partikel berbahaya seperti menggunakan masker ketika berada di lingkungan yang berisiko, obat bronkodilator (obat pelega),obat anti peradangan, antibiotik, antioksidan, mukolitik, antitusif dan penghambat phosphodiesterase-4. Apabila dirasa perlu dapat di berikan terapi oksigen untuk mempertahankan oksigenisasi seluler dan mencegah kerusakan sel. Diperlukan juga rehabilitasi respirasi pada PPOK yang bertujuan untuk mengontrol dan mengurangi gejala dan komplikasi, mengoptimalkan status fungsional pasien, meningkatkan aktivitas dan partisipasi pasien dalam kehidupan sosial dan masyarakat serta menurunkan biaya perawatan kesehatan dengan menurunkan morbiditas atau dengan mencegah efek sistemik penyakit.
Pada PPOK dapat terjadi eksaserbasi, yaitu suatu kondisi akut yang ditandai dengan perburukan gejala respirasi dari variasi gejala normal harian dan membutuhkan perubahan terapi. Eksaserbasi sering terjadi pada pasien PPOK yang dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang belum diketahui.
PPOK sering berdampingan dengan penyakit lain sebagai komorbid yang dapat berpengaruh secara signifikan terhadap prognosisnya. Beberapa komorbid independen terhadap PPOK, sedangkan komorbid lainnya memiliki hubungan kausalitas. Tata laksana secara komprehensif pada PPOK harus juga melakukan identifikasi serta terapi pada komorbidnya, baik komorbid tersebut memiliki hubungan atau tidak dengan PPOK. Secara umum adanya komorbid tidak akan merubah terapi PPOK dan berbagai komorbidnya diterapi sesuai pedoman masing-masing komorbid.
“Yang diharapkan oleh pasien PPOK secara umum adalah keinginan untuk segera terbebas dari gejala, untuk menghindari serangan akut dan rawat inap serta keinginan untuk dapat beraktivitas harian, ” terangnya.
Dalam masa pandemi yang masih belum selesai seperti sekarang ini penderita PPOK yang memberikan gejala pernafsan yang baru atau perburukan, de: m, dan/atau gejala lainnya yang mungkin berhubungan dengan COVID-19, meskipun ringan, sebaiknya dilakukan test kemungkinan terinfeksi dengan SARS-CoV-2. Pasien harus tetap minum obat-obat baik yang oral maupin inhalasi untuk PPOK seperti yang dianjurkan karena tidak ada bukti bahwa obat PPOK harus dirubah selama pandemi ini. Terutama pada komunitas yang prevalensi COVID-19 tinggi, penggunaan spirometry harus dibatasi untuk pasien yang benar-benar membutuhkan untuk diagnose PPOK atau perlu untuk menilai fungsi paru.
“Kita lahir hanya dengan sepasang paru hingga usia tua, sehingga penting untuk menjaga kesehatan paru untuk kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu sebagai dokter paru, kami mengharapkan masyarakat untuk menghentikan pajanan asap rokok tembakau dan polusi udara lain termasuk bagi perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi pekerjanya, bagi masyarakat dapat menjaga lingkungan yang bebas polusi udara, karena akan berdampak pada fungsi paru di masa tua nanti. Bagi mereka yang terlanjur sakit dapat memanfaatkan kualitas layanan kesehatan termasuk rehabilitasi paru. Pemerintah diharapkan dapat semakin meningkatkan akses ke layanan kesehatan, ketersedian obat-obatan serta sarana untuk mendiagnosis PPOK secara lebih dini, ” pungkasnya. (Arie Septiani)