JAKARTA, NUSANTARAPOS – Toxic Relationship, hubungan tak sehat dan tak bahagia. Hubungan yang diselimuti rasa lelah, tak bahagia tanpa alasan terutama saat menghabiskan waktu bersama pasangan. Toxic relationship tak menutup kemungkinan dapat terjadi dilingkup keluarga, kolega, maupun pertemanan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memperhatikan berkembangnya fenomena kekerasan dalam suatu hubungan yang dilakukan pasangan atau bukan pasangan di Indonesia. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Eni Widiyanti mengungkapkan tak sedikit perempuan di Indonesia terjebak dalam hubungan toxic yang mendasari terjadinya kekerasan.
“Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun 2022 menunjukkan kekerasan terhadap perempuan (KtP) sebanyak 11.266 kasus terlapor dengan 11.538 korban dimana 45,28% nya merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 1.151 kasus pelakunya adalah pacar. Sedangkan, untuk korban kekerasan seksual sebanyak 2.062 korban. Hal ini menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi di ranah dosmetik atau di dalam suatu hubungan,” ujar Eni dalam keterangannya di acara Media Talk, Jum’at (17/2/2023).
Eni menuturkan, perempuan dan remaja tak menyadari tengah terjerat dalam suatu hubungan yang tak sehat (toxic relationship). Adanya tekanan yang dirasakan secara emosional oleh satu pihak dalam hubungan seringkali berujung pada kekerasan. Perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin agar perempuan dan remaja terhindar dari hubungan yang tak sehat.
“Peran krusial Orang tua dan keluarga dalam
pencegahan dengan memperkuat hubungan antara orang tua dan anak. Jalin komunikasi terbuka dan perhatikan keseharian anak. Selain itu, lingkungan yang nyaman dan aman, penyebaran informasi dan penyediaan dukungan pun tak kalah penting dalam mendukung anak menjalin hubungan yang positif,” ucap Eni.
Eni menyampaikan, selain pencegahan, perlu dilakukan upaya penanganan bagi korban dan pelaku kekerasan. Orang terdekat diharapkan dapat memberikan dukungan serta meyakinkan korban untuk berani menolak, menentang, juga melaporkan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan pasangan ataupun pelaku kekerasan. Korban perlu diberikan penanganan khusus oleh psikater atau psikolog melalui pendampingan jika sekiranya mengalami trauma. Sementara itu, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut atau konseling dengan menelusuri masa lalu maupun kenangan akan peristiwa buruk yang mengakibatkan trauma serta konflik lainnya.
“Kita dapat menghindari tindak kekerasan di dalam suatu hubungan dengan mengenali calon pasangan secara menyeluruh sebelum memulai hubungan yang lebih mendalam, jangan terlalu cepat mengambil keputusan dan lebih bijak, berani mengambil sikap dan mengatakan tidak jika terjadinya suatu pemaksaan dalam hubungan, membangun komitmen yang sehat, serta perlu adanya orang terdekat yang kerap mengetahui, mengawasi, dan turut menjaga,” jelas Eni.
Eni mengungkapkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia merupakan fenomena gunung es dimana yang tercatat ataupun terlaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang terjadi. Banyak korban kekerasan yang enggan melaporkan tindak kekerasan yang dialami ataupun yang diketahui.
Pemerintah menaruh perhatian lebih akan kasus kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat, salah satunya adalah kasus kekerasan seksual. Negara hadir berkomitmen melindungi masyarakat, khususnya perempuan dan anak dengan menghadirkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai jaminan perlindungan dari kekerasan seksual dengan pengaturan hukum yang komprehensif mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam upaya memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Dalam memberikan dukungan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak, KemenPPPA menghadirkan Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Kehadiran Call Center SAPA 129 dan WhatsApp 08111-129-129 bertujuan untuk mempermudah akses bagi korban atau pelapor dalam melakukan pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendataan kasusnya. Terdapat 6 standar pelayanan SAPA 129, diantaranya pengaduan masyarakat, pengelolaan kasus, penjangkauan korban, pendampingan korban, mediasi, dan penempatan korban di rumah aman.
“Kekerasan tak hanya secara fisik, tetapi juga psikis/mental, seksual, hingga penelantaran rumah tangga. Jika mengalami ataupun mengetahui kekerasan yang terjadi di sekitar, maka segeralah melapor, berani berbicara atau dare to speak up. Bersama-sama kita jaga dan tingkatkan komitmen untuk mewujudkan perlindungan bagi seluruh khalayak, khususnya perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan,” pungkasnya. (Guffe).