Jakarta, Nusantarapos – Memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (World TB Day) pada 24 Maret, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengingatkan pentingnya edukasi pencegahan dan pengobatan bagi penderita tuberkulosis (TB).
Ketua Umum PDPI Prof. Dr. dr Agus Dwi Susanto mengatakan, “Tahun ini temanya (Hari Tuberkulosis Sedunia) “Yes! We Can End TB”. Kita bersama-sama bisa mengakhiri TB. TB tentunya menyerang organ-organ lain di dalam tubuh bukan hanya paru, hampir semuanya bisa kena TB kecuali rambut dan kuku. Indonesia menduduki peringkat 2 negara tertinggi TB setelah China. Tentunya ini dapat memberikan permasalahan di Indonesia, beban dari aspek ekonomi dan kesehatan, ” ujarnya saat jumpa pers virtual Hari Tuberkulosis Sedunia, Jumat (24/3/2023).
Dia melanjutkan, jika TB tidak segera ditangani maka akan menjadi sumber penularan ke masyarakat. Dalam hal ini, pencegahan memerlukan partisipasi aktif dari berbagai pihak.
“Saya berharap semua program yang dijalankan baik deteksi dini, pencegahan dan pengobatan bisa memberikan impact di Indonesia. PDPI mendukung segala upaya dalam mengeliminasi TB. Peran aktif nakes, pemangku jabatan, media sangat berperan dalam menangani TB, supaya keluarga kita bebas dari TB, ” lanjutnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Ibu Raisis Arifin Panigoro optimis Indonesia bisa bebas dari TB di tahun 2030 mendatang, caranya yakni dengan menggalakan edukasi ke masyarakat.
“Meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui edukasi, serta aktif melakukan penemuan kasus. Misalnya TB yang berat, TB yang terlambat diobati serta TB yang menyebabkan kematian, ” terangnya.
Diketahui, gejala TB paru antara lain, batuk lebih dari dua minggu, dahak berwarna putih, bisa disertai batuk berdarah, berat badan dan selera makan penderita menurun, berkeringat di malam hari serta disertai sesak nafas.
Menurut Dr.dr.Irawaty Djaharuddin, Sp.P(K), pengobatan TB harus dilakukan bersama-sama, baik kepada pasien TB laten (tidak ada gejala) maupun TB aktif (disertai gejala demam dan batuk).
“Ternyata kita tidak hanya mengobati pasien yang aktif TB, namun kita harus menggandeng, harus bersama-sama mengobati TB laten. Dengan TB laten dan TB aktif kita obati bersama-sama, itu cita-cita kita mengakhiri TB hingga menurun 90 persen pada 2035, ” ucapnya.
Sedangkan dr. Tutik Kusmiati Sp.P(K) menambahkan, pengobatan tidak hanya bagi pasien TB saja, tapi juga berlaku pada keluarga intinya agar tidak mudah tertular.
“Jadi bapak ibu sayang sama anak, istri dan cucunya maka harus mau diobati, karena kalau nggak mau diobati maka otomatis mereka bisa tertular, ” tandasnya.
Saat ini, Tuberkulosis (TB) masih menjadi ancaman kesehatan dunia. Paska pandemi terjadi peningkatan kasus TB di Indonesia, sehingga pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan kasus TB tertinggi di dunia setelah India.
Indonesia telah berjuang dan berkomitmen untuk mencapai target dan strategi eliminasi TB nasional pada tahun 2030. Hal tersebut dilakukan melalui upaya menurunkan angka laju insiden TB menjadi 65 per 100.000 penduduk dan menurunkan angka kematian TB menjadi 6 per 100.000 penduduk. Kendati demikian masih banyak kendala yang ditemui di lapangan dalam upaya eliminasi TB. (Arie Septiani)