HUKUM  

Wanita 2 Orang Anak Minta Penegakan Hukum Atas Dugaan Pelecehan Seksual Oknum Pejabat Pemprov Papua Barat

Advokat Yuliyanto dan Ronald Forman saat berada di RS Polri untuk mendampingi CR wanita 2 orang anak yang diduga dilecehkan oleh oknum pejabat Pemprov Papua Barat.

Jakarta, CR wanita 2 orang anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum pejabat Pemprov Papua Barat berinisial LI meminta keadilan kepada penegak hukum di Indonesia. Pasalnya akibat kejadian tersebut, CR mengalami trauma yang cukup mendalam.

Terlebih saat ini mulai ada pihak yang coba memberikan ancaman dan intimidasi terhadapnya yang dilakukan oleh orang tak dikenal. CR yang masih memiliki 2 orang anak dibawah umur itupun merasa dirinya semakin tersudutkan dengan kejadian yang telah dialaminya.

CR tak menyangka perkenalan dengan oknum pejabat melalui tante dan sepupunya menjadi sebuah kejadian terburuk yang belum pernah dialami sebelumnya. Padahal saat perkenalan awal itu, CR hanya ingin mengajak bekerjasama dengan LI untuk mengatasi ODGJ yang banyak berkeliaran di Papua Barat khususnya manokwari dan juga akan bekerjasama dengan Dinkes untuk masalah gizi ibu hamil asli orang Papua yang belum mendapatkan penanganan cukup dalam masa kehamilan.

Tujuan tersebut dilakukan CR karena melihat persoalan tersebut belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah Papua Barat, terlebih saat ini banyak anak-anak melakukan kegiatan yang tidak terpuji dengan mengkonsumsi lem aibon dan sebagainya. Sehingga dikuatirkan jika tidak diperhatikan dengan serius akan merusak generasi muda Papua Barat.

Berniat dari hati yang tulus itu, maka CR pun diperkenalkan oleh tante dan sepupunya kepada LI. Dan saat pertemuan pertama LI menyambut baik niat luhur CR yang ingin memberikan perhatian kepada anak-anak terlantar tersebut.

Seiring berjalannya waktu maka CR dan LI pun melakukan komunikasi, sampai pertemuan terakhir yang tidak pernah disangka-sangka oleh CR. Dimana LI telah melakukan pelecehan seksual terhadap CR.

Pasca kejadian itu CR pun membuat laporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Papua pada 10 Mei 2023 dengan nomor LP/B/100/V/2023/SPKT/Polda Papua Barat. Setelah dilaporkan LI pun dipanggil oleh penyidik Polda Papua Barat,

Pasca kejadian itu CR pun membuat laporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Papua pada 10 Mei 2023 dengan nomor LP/B/100/V/2023/SPKT/Polda Papua Barat. Setelah dilaporkan LI pun dipanggil oleh penyidik Polda Papua Barat, pada panggilan pertama Terlapor hadir tetapi tidak menyelesaikan keterangan karena jatuh sakit tiba-tiba saat dalam proses BAP

Dan karena lasan kesehatan maka dia diberi kesempatan berobat seminggu, sampai Terlapor dimintai untuk keterangan kedua yang menurut informasi sudah ada barang buktinya.

Bahkan status LI pun telah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan, namun anehnya hingga saat ini LI belum ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua Barat. Sampai Kamis (22/6/2023) CR datang ke Jakarta untuk dilakukan test psikologi forensik di Rumah Sakit Polri.

Namun CR justru merasa janggal kenapa itu dilakukan di RS Polri yang ada di Jakarta, padahal menurut penyidik yang dikatakan pada dirinya. Test itu bisa dilakukan di Makassar ataupun Jayapura, tapi kenapa justru dilakukan di Jakarta dengan jarak tempuh ribuan kilometer.

“Saya tidak tahu mengapa ini dilakukan di Jakarta, padahal seharusnya kan bisa dilakukan di Makassar ataupun Jayapura?. Meskipun semuanya dibiayai oleh negara, namun anak-anak saya tidak dibiayai untuk melakukan perjalanan ke sini,” ujar CR saat ditemui usai melakukan test psikologi forensik.

Lebih lanjut CR mengatakan saat saya akan melakukan perjalanan ke Jakarta, saya diminta untuk tidak membawa anak-anak namun mengingat anak saya semuanya masih dibawah umur maka saya tidak bisa meninggalkannya. Sebagai seorang ibu saya akan menjaga anak-anak dalam situasi apapun, untuk itu saya bawa anak-anak dengan biaya sendiri.

“Yang saya kuatirkan apabila berangkat ke Jakarta sendiri dan anak-anak tidak dibawa,lalu anak saya ada apa-apa siapa yang bertanggungjawab? Terlebih saat adanya laporan di Polda Papua Barat, mulai ada pihak yang mengancam-mengancam saya,” katanya.

Untuk itu, tambah CR, ke Jakarta pun ditemani oleh kuasa hukum saya Yuliyanto. Hal ini saya lakukan karena agar beliau bisa membantu dalam proses penegakan hukum yang sedang saya perjuangkan.

“Saya tidak ingin perempuan lain di Papua Barat mengalami kejadian yang saya rasakan, karena menurut informasi yang berhembus di masyarakat sudah banyak wanita-wanita yang mengalami nasib yang sama. Namun karena ketidakberdayaannya maka tidak sampai berlanjut kepada proses pelaporan seperti yang saya lakukan,” tuturnya.

CR menjelaskan bahkan di dalam pesawat saat penerbangan ke Jakarta, di bangku belakang saya ada orang yang membicarakan terlapor. Saya pun sampai kaget ternyata sudah banyak masyarakat yang tahu akan kejadian ini.

“Sebagai wanita yang mempunyai 2 orang anak dibawah umur, maka saya menginginkan kepada penegak hukum untuk menegakkan hukum yang setegak-tegaknya. Jangan sampai Terlapor melakukan hal yang sama terhadap wanita-wanita lain di Papua,” ungkapnya.

Sementara itu saat dihubungi melalui telepon Kuasa hukum CR, Yuliyanto menerangkan bahwa saat ini kliennya merasa tidak aman karena adanya berbagai ancaman yang berusaha menghambat proses penyelidikan.

“Proses hukum saat sedang berjalan di kepolisian, disana ada tes psikologi forensik. Tujuan kita ke Jakarta karena ada ancaman kepada klien kami yang merupakan korban dengan mengajukan permohonan ke LPSK , untuk mendapatkan perlindungan,” ucapnya.

Yuliyanto sendiri akan mempelajari pihak-pihak yang berusaha menghubungi kliennya yang mengakibatkan CR merasa terganggu.

“Jika ada hal-hal yang mengakibatkan proses penghambatan penyelidikan saya akan melalukan tindakan hukum tersendiri. Saya minta kepada pihak kepolisian untuk fokus kepada terlapor dan menjalankan proses ini dengan benar, jadi jangan ada dusta diantara kita,” tegasnya.

Dia juga berharap, agar terlapor jangan menciptakan opini di masyarakat dengan mengatakan apa yang dilakukan CR merupakan drama.

“Nanti silahkan buktikan saja di kepolisian, kejaksaan ataupun nanti di pengadilan siapa sebenarnya yang tidak benar,” tegas Yuliyanto lagi.

Dia menambahkan, saat ini Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan (SPDP) nomor : B/24/V/RES.1.24/2023/Direskrimum juga sudah di Kejaksaan Negeri Manokwari. Yuliyanto juga mengapresiasi kinerja kepolisian yang sudah menempatkan pasal-pasal yang tepat untuk menyelidiki kasus yang dialami kliennya.

“Kita fokus dengan laporan di kepolisian, nanti berargumen disitu. Saya tegaskan kepada pihak-pihak yang mencoba memberikan rasa tidak aman, saya akan mempelajari dokumen-dokumen pengancaman yang terjadi kepada klien kami,” pungkasnya.

Perbuatan Terlapor masuk ke dalam Tindak Pidana Cabul Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 289 KUHP dan atau Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun penjara.