Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) melaksanakan seminar nasional yang bertajuk “Bedah Kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung Terhadap Dugaan Pemalsuan Akta Jual Beli Saham yang Dibuat oleh Notaris” di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (21/6/2023). Ribuan peserta yang terdiri dari anggota luar biasa (ALB) se Indonesia sangat antusias mengikuti seminar tersebut.
Adapun tema ini diangkat terkait perkara yang dialami oleh notaris Hartono, di tingkat Pengadilam Negeri Gianyar, Bali, dimana Terdakwa (notaris) dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pemalsuan surat, sementara di tingkat Pengadilan Tinggi Denpasar menyatakan Hartono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Di Tingkat Kasasi, Terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah, sedangkan di tingkat PK Terpidana dinyatakan bebas.
Perbedaaan putusan antara PN, PT, Kasasi dan PK, menurut Pieter Latumeten, merupakan suatu hal yang wajar, dimana menurutnya dengan meminjam pendapat Prof Eddy Hiariej (Wamenkum HAM), yang menyatakan hukum itu adalah seni berinterpretasi (penafsiran) dan fakta itu bersifat netral, sehingga perbedaan bisa terjadi tergantung siapa subjek yang membaca dan menilai fakta tersebut, inilah yang melahirkan suatu perbedaan dalam putusan pengadilan.
Pieter Latumeten yang juga Anggota Dewan Kehormatan Pusat (DKP)PP INI, mengatakan tugas Hakim adalah memisahkan orang yang bersalah dan tidak bersalah dimana penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim.
“Bagi Dunia Notaris Putusan PK menarik untuk di eksaminasi, dimana ‘Judex Jurist’ dalam pertimbangan hukumnya menyatakan berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratorium forensik Polri, tanda tangan ahli waris pemilik saham dalam berita Acara RUPSLB PT dan Akta Jual Beli (AJB) saham yang dibuat dibawah tangan non identik atau adanya perbedaan tanda tangan dengan tanda tangan pada dokumen pembanding Ahli waris berupa passport,” ungkap Pieter Latumeten, Rabu (21/6/2023).
Dia melanjutkan, kekeliruan dan kesalahan judex jurist (putusan kasasi) yaitu paspor sebagai dokumen pembanding milik ahli waris pemilik saham secara kasat mata tampak bekas penghapusan tanda tangan yang tidak sempurna kemudian ditumpuk dengan tanda tangan pelapor.
Dimana, kata Pieter Penuntut Umum tidak bisa menghadirkan ahli forensik dan pembuat paspor untuk membuktikan keabsahan dokumen pembanding oleh pembuat paspor dan hal ini bertentangan dengan peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 10 tahun 2009 Pasal 81 ayat 1 huruf a.
“Bahkan Dokumen pembanding tanda tangan tidak memenuhi syarat dimana dokumen pembanding harus mendekati atau sama dengan tahun penandatanganan dokumen bukti yang akan diuji kebenarannya dan hal bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian RI No 10 tahun 2009 Pasal 81 ayat 1 huruf b. Sejak di tingkat PN sampai PK, tidak ada dokumen persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sebagai dasar kewenangan penegak hukum untuk melakukan rangkaian tindakan Pro Justitia terhadap notaris, berupa pemeriksaan terhadap Notaris sebagai saksi, tersangka, pengambilan copy minuta, minuta dan surat surat yang dilekatkan pada minuta akta sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU jabatan Notaris jo Permenkumham No 17 tahun 2021,” paparnya dengan jelas.
“Dan jika hal ini dimasukkan sebagai pembelaan maka bukti yang diperoleh dari notaris berupa BAP saksi, pengambilan dokumen, tidak sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak sah. Banyak hal yang berkaitan dengan RUPS PT yang dibuat tanda hadirnya notaris yang dituangkan dalam akta dibawah tangan, yang kemudian dinyatakan dalam akta notaris serta jual beli saham, mendapat kajian yang mendalam,” imbuh Pieter.
Di akhir pembicaraannya Pieter mengatakan kegiatan bedah kasus ini yang secara teknis yuridis dikenal dengan eksaminasi perlu dan penting bagi Ikatan Notaris Indonesia, sebagai bahan evaluasi kedepan bagi rekan-rekan notaris dan alangkah baiknya jika hasil bedah kasus semacam ini dibukukan dalam suatu kompiliasi yang berguna bagi Ikatan Notaris Indonesia dan pihak-pihak yang terkait.
Sementara itu, mantan hakim agung, Prof. Gayus Lumbuun, mengatakan dalam kasus yang dialami notaris Hartono harusnya ada eksaminasi internal. Karena menurutnya, yang menentukan langkah-langkah seorang notaris itu hanya notaris yang tahu.
“Hakim yang menangani perkara itu kan tidak ada yang berlatar belakang notaris. Kalau ada khusus notaris akan terbuka setiap keadilan. Tetapi hakimnya adalah yang berlatar belakang pidana umum, begitu juga jaksa dan penyidik. Jika dibentuk misalnya penyidik, jaksa atau hakim dengan latar belakang notaris itu baru bisa,” paparnya.
“Seperti, kasus perkara Tipikor penyidik maupun jaksa yang khusus menangani perkara tersebut. Atau, perkara anak dimana penyidik dan jaksa yang khusus menangani perkara itu. Tapi kalau notaris apa bisa? Seperti perkara yang dialami Hartono Japidum-nya juga tidak ada yang berlatar belakang notaris, yang mana penafsiran hukumnya berbeda-beda,” sambung Gayus.
Namun, Gayus belum bisa berkomentar lebih jauh untuk dibuatkan Pengadilan khusus Notaris. Karena menurutnya, profesi notaris belum sebanyak dokter yang sampai hari ini sudah mencapai 200.000 orang.
“Dokter sudah merancang peradilan medis, yang mana nanti hakimnya separuh ahli hukum kesehatan, baru ditambah hakim yang lain. Jaksa-nya juga yang tahu hukum kesehatan,” ucapnya.
Anggota PP INI Terus Melaksanakan Program Kerja demi Kepentingan Anggota
Di kesempatan yang sama Ketua Umum PP INI, Yualita Widyadhari menjelaskan ada 1.013 peserta yang mengikuti acara Seminar Nasional tersebut, yang mana kegiatan itu merupakan program kerja satu tahun sebelumnya.
Yualita merasa bangga dengan era kepengurusan sekarang, karena bisa melaksanakan program kerja untuk kepentingan anggota. Agar anggota dalam 5-10 tahun ke depan harus lebih jaya lagi.
“INI sebagai wadah notaris satu-satunya yang dapat bisa berbuat untuk semua anggota. Tentunya sudah jelas seperti kita beberapa waktu lalu melaksanakan UKEN yang diikuti 2.000 ALB, itu menunjukkan kepengurusan sekarang tetap terus berlangsung hingga terjadi Kongres XXIV,” ucap Yualita Widyadhari.
“Kepada rekan-rekan kita tetap fokus melayani masyarakat, dan pengurus berbuat untuk anggota demi juga mempertahankan kepercayaan masyarakat. Ini yang membuat eksistensi INI,” lanjutnya.
Pada bulan depan PP INI akan melaksanakan seminar internasional dengan 9 negara Asia, terkait nasib notaris kedepan di era digitalisasi. Dengan Sekretaris Umum PP INI, Tri Firdaus Akbarsyah menjabat Presiden Asian Affairs Commision of The International Union of Notaries (CAAs), kata Yualita harus ada satu produk yang dihasilkan bersama pemerintah didalam peningkatan investasi, dan seperti apa nasib notaris kedepan, kalau semuanya digitalisasi.
“Sebagai pelopor di Asia, kita akan membuat seminar internasional tentang eksistensi Civil law. Nanti hasilnya kita sampaikan kepada pemerintah dan bagaimana kita berkontribusi di era digitalisasi,” ujarnya.
Dalam acara itu, kata dia, PP INI akan melaksanakan MoU dengan 9 negara di Asia. Untuk kehadiran, tidak bisa semuanya hadir, kecuali tim peninjau. Bagi Yualita, hal ini adalah pengalaman luar biasa, karena bisa melaksanakan rapat dengan komisi masyarakat Asia.
“Kita harapkan, dengan ada kegiatan itu untuk menunjukkan eksistensi INI sebelum berakhirnya kepengurusan sekarang. Dan, ini bertujuan untuk notaris Indonesia kedepan, bisa memiliki kesepahaman dengan 9 negara Asia,” katanya.