Penulis: Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT) Sugiyanto
Pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang mengkritik kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang dianggap tidak bisa bekerja, masih menjadi kontroversi di masyarakat. Terkait hal ini, saya diingatkan terkait dugaan kasus korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), yang pernah saya laporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pembelian lahan RSSW terjadi pada masa pemerintahan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. BPK menemukan indikasi kelebihan bayar sebesar Rp 191 miliar dari anggaran Rp 755 miliar yang digunakan untuk pembelian lahan di Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat, guna pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras ini.
Atas hal tersebut, BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rekomendasi ini seharusnya dijalankan oleh mantan Gubernur Ahok, eks Gubernur Anies Baswedan, dan juga oleh Pejabat Gubernur Heru Budi Hartono. Namun publik masih belum mendengar hasil akhirnya.
Diantara isi dari rekomendasi BPK mencakup pembatalan pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 36.410 m2 (3,6 ha) dengan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YK SW), atau memulihkan indikasi kerugian daerah sebesar 191.334.550.000 atas selisih harga tanah dengan PT.CKU. Selain itu, rekomendasi juga mencakup permintaan pertanggungjawaban dari pihak YKSW untuk menyerahkan lokasi fisik tanah di Jalan Kyai Tapa sesuai dengan tawaran kepada Pemprov DKI, bukan fisik tanah yang berada di Jalan Tomang Utara.
Mengenai indikasi kerugian negara, BPK Pusat kemudian melakukan tindakan audit investigasi dan menegaskan adanya indikasi kerugian uang negara senilai Rp173 miliar. Seharusnya, hasil audit investigasi BPK Pusat ini sudah menjadi dasar memadai bagi penegak hukum, khususnya KPK, untuk menuntaskan kasus RS-Sumber Waras. Namun, kasus ini masih belum terselesaikan hingga saat ini.
Menolak Melaksanakan Rekomendasi BPK, Ahok Berpotensi Dipenjara 1,6 Tahun?
Alih-alih menjalankan rekomendasi BPK, saat itu Ahok justru menyebut hasil audit BPK terhadap pembelian lahan di RS Sumber Waras dalam LHK APBD 2014 tidak reliabel alias ngaco. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak akan mengikuti rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras, sehingga menimbulkan pertanyaan besar terkait ancaman pidana.
Dalam konteks ini, mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pasal 26 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK dapat dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Pasal 2 ayat (1) dalam undang-undang yang sama menegaskan bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi yang terdapat dalam LHP BPK. Dalam kasus RS-Sumber Waras, Ahok jelas menolak menjalankan LHP BPK perwakilan DKI Jakarta.
Kemudian, Pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam LHP selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterimanya. Pada saat itu, Ahok sudah menerima LHP BPK pada pertengahan 2014. Oleh karena itu, terjadi dugaan tidak pidana, Ahok berpotensi diancam hukuman pidana 1,6 Tahun.
Ketika batas waktu yang diwajibkan oleh undang-undang telah berlalu, diduga kuat, Ahok tidak pernah melakukan upaya pembatalan pembelian lahan RS-Sumber Waras. Di sinilah titik permasalahannya, sehingga Ahok berpotensi diancam hukuman pidana 1,6 Tahun. Terkait hal ini, saya telah menyampaikan pengaduan kepada Mabes Polri tetang dugaan tidak pidana, namun hingga saat ini belum mendapat respon.
Ancaman pidana 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau 1,6 Tahun ini hanya merujuk pada ketidakmelaksanakan rekomendasi BPK. Namun, dalam hal penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan dapat membuktikan indikasi kerugian negara senilai 173 miliar sesuai hasil audit investigasi BPK Pusat, maka ancaman hukuman dapat menjadi lebih berat.
Untuk itu, sebaiknya Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, perlu segera menuntaskan rekomendasi kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) sebelum Pilpres 14 Februari 2024. Heru Budi harus segera menyelesaikan kewajiban Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan rekomendasi BPK sebagaimana tercantum dalam LHP BPK Perwakilan DKI Jakarta tentang RSSW. Mempercepat penyelesaian rekomendasi BPK tentang RSSW nampaknya juga seiiring dengan jargon, “Lebih Cepat Lebih Baik.”