Jakarta,NUSANTARAPOS.CO.ID – Pemilihan Umum (Pemilu) serentak, akan digelar untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, Anggota DPR/DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten se-Indonesia, Rabu, 14 Februari ini. Namun seringkali Pemilu, baik dalam proses maupun hasil akhirnya seringkali memunculkan disintegrasi dan pengkotak-kotakan didalam masyarakat. Padahal, di tingkat elit politik sepertinya tak dikenal loyalis, melainkan murni berpolitik untuk mencapai kekuasaan.
Kondisi tersebut diingatkan oleh Dr. Mahir Bayasut Ketua Umum Forum Corporate Social Responsibility (CSR), dalam percakapan jelang Pemilu, Minggu (11/2/2024). “Seringkali urusan dukung mendukung salah satu calon Presiden-Wakil Presiden membuat masyarakat jadi terbelah. Pun demikian untuk calon anggota legislatif. Perbedaan yang ada kadang sulit diterima dan menghasilkan gesekan,” kata Mahir.
Menurutnya, rakyat Indonesia harus terus diberi pencerahan bahwa berbeda dukungan hal lumrah, bukan sebuah fanatisme sempit sehingga harus saling jegal dan apriori dengan pendukung calon lainnya.
“Elit politik juga harus terus didorong menghentikan polarisasi dalam masyarakat sebagai dampak dari dukungan kepada salah satu calon. Yang terjadi selama ini, rakyat dibenturkan satu sama lain demi mendulang suara dari para kontestan,” ujar Mahir.
Lanjutnya, rakyat seperti diperalat untuk mendukung kepentingan politik tertentu, di mana dibangun fanatisme sempit yang menjurus pada pengkotak-kotakan. “Lihat saja di media-media sosial. Pendukung satu paslon begitu bertubi-tubi menyerang calon lainnya dengan cacian, makian, bahkan hinaan yang melahirkan sakit hati bagi pendukung paslon lainnya,” terangnya.
Jalan berliku
Dirinya mengingatkan, pada Pilpres 2004 SBY-Jusuf Kalla (JK), yang sebelumnya ‘pembantu’ Megawati harus berhadapan dengan eks ‘majikannya’. Lalu 2009, Megawati menggandeng Prabowo melawan JK-Wiranto dan SBY-Boediono. Kemudian pada Pilkada DKI Jakarta, 2012 lalu, Mega-Prabowo mengusung duet Jokowi-Ahok. Namun di Pilpres 2014, Prabowo harus fight dengan orang yang diusungnya di Pilkada DKI, yakni Jokowi, dan kalah.
Selanjutnya, di Pilpres 2014, Anies adalah juru bicara tim pemenangan pasangan Jokowi-JK, yang kemudian diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara Partai NasDem begitu getol mendukung duet ini. Cerita berlanjut, pada Pilkada DKI 2017, Prabowo bersama Hary Tanoesoedibjo (Ketum Perindo) mendukung Anies-Sandiaga Uno, sementara Ahok malah didukung oleh Surya Paloh.
“Terbangun polarisasi yang tajam di Pilkada DKI 2017, baik karena faktor identitas, politik maupun ideologi. Rakyat terbelah dan terjadi garis permusuhan, bahkan menembus lingkaran persahabatan yang sudah terbangun lama, pun sampai ke level keluarga,” imbuh Mahir.
Kondisi memanas berlanjut di Pilpres 2019, di mana gesekan kian tajam. Munculnya gerakan Tagar ‘2019 Ganti Presiden’, pendukung kafir dan pendukung amanah, disparitas antar pendukung Capres/Cawapres dibuat sedemikian rupa, juga menguat politik identitas. Di 2019, Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin, yang notabenenya sosok yang mengeluarkan fatwa terkait Ahok, wakil Jokowi di DKI, sebagai penista agama. berdasarkan agama.
Di Pilpres 2024 ini, Prabowo akan berhadapan dengan Anies, yang ia usung di Pilkada DKI. Sementara JK, wakil Jokowi dulu, mendukung duet Anies-Muhaimin. “Nampak jelas, rotasi dukungan di seputaran para politisi. Mereka sepertinya fine-fine saja,” tukas Mahir.
Dewasa berpolitik
Mahir mengajak segenap rakyat Indonesia untuk lebih dewasa dalam berpolitik dan memahami bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. “Hari ini menjadi lawan, besok sudah berkawan, begitu sebaliknya,” serunya.
Di sisi lain, rakyat saking loyalnya kepada paslon rela bermusuhan dengan saudara atau sahabatnya sendiri. “Padahal tidaklah perlu seperti itu. Karena siapapun yang menang adalah pemimpin bagi seluruh rakyat. Pemenang di Pilpres adalah Kepala Negara bagi seluruh elemen bangsa tanpa ada pandang bulu. Bukan hanya pemimpin dari kelompok yang memilihnya saja, tetapi pemimpin diatas semua golongan,” ucapnya mengingatkan.
Dia mengajak seluruh rakyat untuk memahami bahwa politik adalah ‘permainan’ yang sangat dinamis dan segala kemungkinan bisa terjadi. “Kenapa untuk ukuran kontestasi 5 tahunan saja kita harus seperti Perang Bharatayuddha? Padahal, para elit politik mengajarkan inkonsistensi dalam mendukung sebuah kontestasi politik dan semua punya beribu alasan pragmatis untuk berebut kekuasaan politik,” tandasnya.
Mahir juga meminta masyarakat untuk tidak baper (bawa perasaan) dalam melihat dinamika politik, termasuk di tahun 2024 ini. Karena siapapun yang terpilih nanti, entah itu paslon nomor urut 01, 02, atau 03, para elit ini akan tetap bersatu. Dia mengingatkan agar para elit juga terus menyuarakan persatuan, bukan mempertajam persaingan.
“Jangan sampai rakyat menjadi terbelah akibat polarisasi politik. Sementara di balik layar, para elit berkoalisi dan berbagi jatah. Yang lebih dikhawatirkan lagi, rakyat menjadi sasaran tipu daya sandiwara dan drama politik dari para elit politik. Rakyat bak terkena ‘prank’ atau ‘kecele’ karena politik itu sangat dinamis dan perubahannya sangat cepat,” cetusnya.
Dia menegaskan, di alam demokrasi perbedaan pendapat itu wajar. Tidak boleh dipaksa untuk selalu bersepakat dengan pilihannya. Yang utama, perbedaan pendapat jangan sampai menimbulkan permusuhan dan perpecahan di antara sesama anak bangsa.