Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Koordinator Tim Hukum Merah Putih C Suhadi menilai keterangan saksi dan saksi ahli dalam sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyimpang dari yang seharusnya.
“Dasar permohonan yang diajukan dan keterangan yang diberikan sudah sangat tak sesuai. Dalam UU MK dalam perkara pilpres hanya mengadili masalah ‘PERSELISIHAN’ saja seperti diatur dalam pasal 30 huruf d UU No. 24 tahun 2003, bukan mengenai etik dan atau yang lain,” katanya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Menurut Suhadi jika menyangkut etik wilayahnya bukan di MK, sehingga terkait dasar hukum tersebut baik Saksi maupun Ahli hanya bicara masalah perselisihan saja, bukan yang lain.”Dan kalau di luar kontek itu baik saksi maupun ahli justru sudah keluar dari konteknya,” ucapnya.
Dia juga menuturkan, jika melihat keterangan saksi dan ahli yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional dari Persidangan di MK yang diajukan oleh tim kuasa hukum 01 dan 03, keterangannya sudah sangat diluar kontek hukum yang berlaku.Karena MK bukan dalam ruang Pengadilan kasus Perdata.
Dirinya pun menuturkan jika majelis Hakim MK harusnya tegas dan berikan teguran kepada mereka para Saksi dan Ahli apabila dalam memberikan keterangan tidak sesuai dengan kontek hukum yang berluku di MK, jangan membiarkan.”Hal ini penting dalam mengeduksi masyarkat bahwa sidang dalam Peradilan MK bukan masalah etik dan sejenisnya yang sedang dibangun kubu 01 dan 03, akan tetapi hanya melulu perselisihan saura Pilpres saja,” jelasnya.
“Karena kalau dibiarkan Paslon 01 dan 03 membangun narasi seolah olah MK bukan hanya mengadili Perselisihan, maka akan menimbulkan kesan MK seperti Peradilan Umum yang bisa mengadili semua urusan. Dan saya takut setelah ini banyak orang datang mendaftarkan kasus hutang piutang,” tegasnya.
Lebih lanjut Suhadi juga menuturkan, jika saksi dalam persidangan MK bukan lagi merupakan saksi-saksi yang hanya berdasar pada katanya, karena yang demikian bukan saksi diakui dalam hukum acara. Namun saksi itu harus memiliki tiga kriteria yang jelas.
“Dia harus melihat, mendengar dan mengalami adanya kasus kecurangan secara langsung. Tak lagi berlandaskan pada katanya sepertinya yang kita saksikan dalam perkara di MK,” tuturnya.
Suhadi menjelaskan dalam hukum saksi seperti itu tidak mempunyai nilai pembuktian, karena bukan saksi fakta seperti diterangkan diatas (yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri) terkait perolehan suara. Namun keterangan yang didapat diperoleh dari orang lain, dan saksi yang demikian dinamakan testimonium de auditu, dan itu tidak berlaku dalam hukum acara dimanapun, termasuk di MK.
“Dengan melihat fakta fakta yang demikian, paslon 01 dan 03 terkait kontek dasar hukum mengadili perkara Pilpres yang hanya mengadalkan perselisihan, sudah tidak pas. Sepertinya terkait Perselisihan sudah tidak dapat dibuktikan, jadi kata curang hanya membangun narasi dalam rangka menutupi kekalahan,” ungkapnya.
Barangkali, sambung Suhadi, perlu saya jelaskan, apa itu perselisihan menurut hukum. Perselisihan adalah terkait suara yang diperoleh seperti yang ditegaskan dalam pasal 30 huruf (d) uu 24/2003. Misal/contoh, Pasangan Amin dari hitungan C 1 dari seluruh TPS di Indonesia mendapat 35 juta suara lebih, sedangkan menurut KPU dari Real Count hanya 24 juta lebih suara.
“Maka antara 35 juta suara lebih dengan 24 juta suara maka bilangan angka angka terkait suara, terjadi perselisihan yang dapat diadili untuk diputus, demikian sebaliknya untuk paslon 03. Diluar itu bukan domain kerja MK terkait sengketa,” terangnya.
“Karena apa, ya itu tadi gugatan ini tidak memiliki landasan hukum yang benar, dan saya haqul yakin gugatan akan ditolak oleh MK dan Prabowo Gibran akan menjadi pemenang Pilpres secara Konstitusional. Selamat,” tutup advokat senior tersebut.