Penulis: Ketua Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat) Sugiyanto
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengumumkan putusan mengenai permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anies Baswedan-Muhaimin Iskadar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada Senin (22/4/2024).
Intinya, dalam PHPU tersebut, permohonan disampaikan untuk mendiskualifikasi Gibran hingga pemilu ulang, termasuk juga permohonan untuk mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, serta meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU).
Berdasarkan beberapa laporan dari media portal online mengenai rencana putusan tersebut, Profesor Deny Indrayana telah memberikan pendapatnya mengenai kemungkinan empat opsi putusan MK. Namun, saya ingin menyampaikan pandangan yang berbeda dengan pendapat Profesor Deny Indrayana mengenai empat opsi putusan tersebut.
Opsi pertama adalah kemungkinan MK menolak semua permohonan, tetapi memberikan catatan dan usulan perbaikan untuk penyelenggaraan Pilpres. Profesor Denny meyakini bahwa MK akan memperkuat Keputusan KPU yang memenangkan Paslon 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sambil memberikan catatan perbaikan kepada penyelenggara Pilpres, terutama KPU dan Bawaslu. Opsi ini tidak perlu dibantah, saya sependapat sepenuhnya dengan pandangan Profesor Denny mengenai opsi ini.
Opsi kedua adalah kemungkinan MK mengabulkan semua permohonan para pemohon, termasuk diskualifikasi Prabowo-Gibran dan PSU hanya di antara Paslon 01 dan 03. Namun, menurut Profesor Deny, opsi ini hampir mustahil terjadi karena rumitnya proses pembuktian. Saya juga setuju dengan Profesor Deny Indrayana bahwa hal ini sulit terwujud, sehingga menurut pandangan saya, MK kemungkinan besar akan menolak permohonan sengketa PHPU.
Menurut Profesor Denny, opsi ketiga adalah kemungkinan MK mengabulkan sebagian permohonan, yaitu dengan mendiskualifikasi Gibran. Dalam konteks ini, MK dapat mengabulkan salah satu petitum dari Paslon 01 yang menyarankan hanya Gibran yang didiskualifikasi, dan Prabowo dapat kembali ikut PSU dengan pasangan cawapres yang baru.
Meskipun opsi ketiga ini mungkin terjadi, namun Profesor Deny menyatakan bahwa hal ini tetap tidak mudah dilakukan oleh MK dengan berbagai argumentasinya. Saya juga meyakini bahwa MK mungkin tidak akan mendiskualifikasi Gibran karena terikat oleh Putusan 90 MK sendiri. Dengan demikian, pendapat opsi ketiga dari Profesor Deny ini juga tidak peru dibantah karena MK mungkin tidak akan memutus PSU di mana Prabowo bisa mengganti pasangannya dengan cawapres yang baru.
Alasan lain untuk menentang pendapat Profesor Deny mengenai Opsi ketiga adalah bahwa pencalonan Gibran dianggap sah berdasarkan hukum. Putusan 90 MK dianggap final. Mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa “Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).” Bobot putusan MK juga setara dengan undang-undang itu sendiri dan berlaku sesuai dengan asas erga omnes.
Opsi terakhir (keempat) menurut Profesor Deny adalah kemungkinan MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan Gibran dan hanya melantik Prabowo, kemudian memerintahkan pelaksanaan Pasal 8 ayat 2 UUD 1945. Profesor Denny menyatakan bahwa opsi keempat memerlukan penjelasan yang lebih panjang, terutama karena tidak disebutkan dalam permohonan Paslon 01 maupun 03, sehingga menjadi ultra petita.
Saya secara tegas menentang pendapat Profesor Deny Indrayana tentang opsi keempat ini. Saya berpendapat MK tidak mungkin membuat putusan yang tidak diminta oleh pemohon Paslon 01 maupun 03 sehingga menjadi ultra petita. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45A menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan.”
Dalam konteks ini, MK mungkin akan menilai bahwa pokok permohonan sengketa PHPU Anies-Muhaimin Iskadar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak memenuhi syarat formil. Hal ini disebabkan karena dalil-dalil yang diajukan banyak menyinggung pelanggaran dalam proses pemilu yang merupakan tugas atau domain dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung (MA).
Sementara itu, di MK, hanya akan diproses perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Pasal 476 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Materi perselisihan ini juga telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tahun 2023.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pendapat Profesor Deny tentang kemungkinan MK memutus ultra petita, yaitu MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan Gibran dan hanya melantik Prabowo, lalu memerintahkan pelaksanaan Pasal 8 ayat 2 UUD 1945, mungkin tidak dapat terwujud. Hal ini dapat menimbulkan kegaduhan politik karena Pasal tersebut mungkin tidak dapat diterapkan, karena berlaku hanya bagi calon wakil presiden yang telah dilantik, bukan untuk calon wakil presiden yang belum dilantik.
Dalam Pasal 8 UUD 1945 ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut: (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai masa jabatannya berakhir.
(2) Jika terjadi kekosongan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat akan mengadakan sidang dalam waktu enam puluh hari untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
Dengan demikian, pendapat Profesor Deny Indrayana tentang opsi keempat, di mana MK kemungkinan mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan Gibran dan hanya melantik Prabowo, kemungkinan besar tidak dapat dijalankan. Oleh karena itu, MK kemungkinan tidak akan memutuskan ultra petita atas PHPU dari pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin dan pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa MK kemungkinan besar akan menolak permohonan sengketa PHPU Pilpres 2024. Kemungkinan keputusan MK ini akan merujuk dan berdasarkan pada Peruran MK khususnya berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 77 ayat (4), yang menyatakan bahwa “Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.”
Sebagai penutup, dan seiring dengan masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024, tak lupa saya mengucapkan, “Taqabbalallahu Mina Wa Minkum, Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.”