Oleh: Laily Ch. S.E (Pegiat Literasi)
Seorang guru di salah satu madrasah tsanawiyah di Jember kini bisa bernafas lega karena terbebas dari jeratan pinjaman online (pinjol). Berawal dari gajinya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan dua anaknya. Upah yang diterima sebagai guru sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta. Dia kemudian meminjam uang secara online di sebuah website. Sebelumnya dia sudah berupaya keras untuk mencari uang. Kadang menjadi guru les demi dapat penghasilan tambahan. Namun, karena tak menentu, dia pun kekurangan. Bahkan saat awal-awal mengajar, gajinya di bawah Rp 500 ribu. Tentu saja sangat tidak cukup.
Namun, upahnya yang tetap di bawah UMK membuatnya kian terdesak. Dia pun terjebak dan meminjam uang berkali-kali. Sampai-sampai, dengan bunga pinjaman yang terus berjalan, dia terlilit utang hingga mencapai Rp 19 juta. Dengan upah bulanan maksimal Rp 1,5 juta, ditambah utang sebesar Rp 19 juta itu sudah cukup besar. Sehingga dia kebingungan dan akhirnya menceritakan masalah tersebut pada keluarga dan teman. Dengan bantuan saudara dan teman-temannya, akhirnya dia bisa melunasi pinjolnya. Dia berpesan kepada guru atau siapa saja agar tidak melakukan pinjol. Lebih baik pinjam kepada keluarga atau teman.
Sungguh kisah tragis ini bukan hanya dialami oleh satu dua orang saja. Data terbaru, secara nasional, korban pinjol terbanyak adalah guru yang mencapai 42 persen dari total pemakai jasa pinjol. Sedangkan sisanya orang yang terkena PHK 21 persen, ibu rumah tangga 18 persen, karyawan 9 persen, dan pelajar 3 persen. Sisanya dari golongan umum 7 persen.
Penelusuran Jawa Pos Radar Jember, banyak guru di sekolah negeri maupun swasta yang terjerat utang pinjol. Bahkan, bukan hanya warga yang gajinya di bawah UMK yang terjerat pinjol, tetapi mereka yang sudah menjadi PNS/PPPK juga ada yang terjerat pinjaman tersebut. (Radar jember.id, 13 Mei 2024)
Sikap Pemerintah
Bupati Jember Hendy Siswanto mengingatkan kepada seluruh warga Jember agar tak sembarangan memilih lembaga keuangan saat menabung maupun meminjam uang. “Ketika mau pinjol yang perlu dicatat yakni kemampuan membayar dan lembaga keuangan. Jangan asal,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Komisi B DPRD Jember David Handoko Seto, yang mengungkapkan bahwa pemerintah memiliki peranan penting dalam memastikan masyarakat dapat mengakses kredit pinjaman digital melalui aplikator atau pihak ketiga tepercaya. Pasalnya, menurut dia, fenomena jeratan utang pinjol ini sudah banyak memakan korban. “Masyarakat juga harus selektif, memilih penyedia layanan yang benar-benar kredibel. Tidak lantas karena iming-iming persyaratan mudah, malah akhirnya akan menyulitkan mereka sendiri di kemudian hari,” pungkas Ketua Fraksi Nasdem DPRD Jember itu (Radarjember.id, 13/5/2024)
Pemerintah menilai dampak buruk pinjol adalah akibat maraknya pinjol ilegal. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk menutup praktik pinjol ilegal. Warga dianjurkan untuk berhati-hati menggunakan jasa pinjol dan hanya memanfaatkan pinjol yang legal saja.
Faktanya, masalah sebenarnya adalah praktik ribawi pada pinjol, baik yang ilegal maupun yang legal. Praktik pinjol yang berjalan selama ini mengandung unsur riba nasî’ah. Dalam skema pinjaman online, pihak OJK menetapkan bahwa penyedia jasa pinjol boleh memungut bunga pinjaman sampai batas tertentu.
Dari sini tampak bahwa pemerintah tidak peduli bahwa sejatinya pinjol legal dan ilegal keduanya sama-sama haram. Karena meski tersemat label “legal”, transaksi pinjol hakekatnya adalah praktik ribawi yang dosanya amat besar.
Solusi Tuntas
Dalam Islam, negara akan menghapuskan praktik ribawi karena haram, termasuk dosa besar, dan menghancurkan ekonomi. Selanjutnya negara akan menata mekanisme proses utang-piutang yang sedang berjalan agar terbebas dari riba, dengan tetap menjaga hak-hak harta warga negara. Untuk itu, islam akan menetapkan bahwa yang wajib dibayar hanyalah utang pokoknya. Adapun riba/bunga yang telah diambil oleh para pihak pemberi piutang wajib dikembalikan kepada pihak yang berutang.
Islam juga akan menjatuhkan sanksi terhadap warga yang masih mempraktikkan muamalah ribawi. Sanksi yang dijatuhkan berupa ta’zîr yang diserahkan pada keputusan hakim, bisa berupa penjara hingga cambuk. Sanksi dijatuhkan kepada semua yang terlibat riba; pemberi riba, pemakan riba, saksi riba dan para pencatatnya.
Kaum muslim juga harus diingatkan agar tidak bergaya hidup konsumtif dan mudah berutang yang menyebabkan kesusahan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berwasiat, “Aku mewasiatkan kepada kalian agar tidak berutang meskipun kalian merasakan kesulitan. Sebabnya, sungguh utang itu adalah kehinaan pada siang hari dan kesengsaraan pada malam hari. Karena itu tinggalkanlah ia, niscaya kehormatan dan kedudukan kalian akan selamat, dan akan tersisa kemuliaan bagi kalian di antara manusia selama kalian hidup.” (‘Umar bin Abdil ‘Azîz, Ma’âlim al-Ishlâh wa at-Tajdîd, 2/71).
Islam memberikan rasa aman dan nyaman untuk setiap manusia, termasuk aman karena kebutuhan pokok mereka terpenuhi. Dalam baitul mal ada pos-pos pengeluaran yang ditujukan untuk kemaslahatan umum seperti untuk pendidikan, kesehatan, dsb. Di baitul mal juga ada Divisi Santunan (Dîwân al-Athâ’) yang menyediakan anggaran khusus untuk kaum fakir, miskin dan warga yang terjerat utang (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 26).
Sungguh kesempurnaan islam menjadikan ketenangan dan keteraturan hidup bisa diraih oleh semua manusia baik muslim maupun non muslim. Wallahualam bisshawab.