Jakarta, Nusantarapos.co.id – Isu keterwakilan tokoh Betawi dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2024 semakin mengemuka. Masyarakat Betawi, sebagai salah satu komunitas etnis terbesar kedua setelah suku Jawa (35,15 persen) di Jakarta, merasa bahwa partisipasi mereka dalam pemerintahan sangat penting.
“Dalam konteks ini, jika partai politik (Parpol) tidak melibatkan tokoh Betawi sebagai calon gubernur (Cagub) atau wakil gubernur (Cawagub), ada kemungkinan sekitar 27,65 persen masyarakat Betawi akan memboikot Pilkada Jakarta yang akan diselenggarakan pada November 2024,” ujar Aktivis Senior Jakarta Sugiyanto atau SGY, di Jakarta, Minggu (30/06/2024).
Boikot ini kata SGY, dapat mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih secara keseluruhan. Selain itu, potensi golongan putih (golput) di kalangan masyarakat Jakarta bisa mencapai hingga 50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan tokoh lokal bukan hanya soal representasi, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat merasa terwakili dan didengarkan oleh para pemimpin Parpol.
“Perkiraan angka golput 50 persen tersebut mungkin saja terjadi, dengan dasar argumentasi yang merujuk pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu, sebanyak 5.563.418 pemilih atau 77,1 persen dari total 7.218.272 pemilih menggunakan hak suaranya. Sisanya, sekitar 1.654.854 pemilih atau sekitar 22,9 persen memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya alias golput,” terangnya.
SGY mengatakan, angka golput pada Pilkada DKI Jakarta kali itu turun sekitar 10 persen dibandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta 2012, di mana angka golput mencapai 32 persen. Secara umum, angka golput pada Pilkada Jakarta berkisar antara 22 persen hingga 30 persen. Jika 27 persen masyarakat Betawi juga ikut golput pada Pilkada 2024, maka total golput dapat mencapai 50 persen.
“Pentingnya keterlibatan tokoh Betawi dalam politik lokal tidak hanya dapat meningkatkan partisipasi, tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap kota ini. Oleh karena itu, Parpol perlu mempertimbangkan aspirasi masyarakat Betawi agar Pilkada 2024 dapat berlangsung dengan partisipasi yang maksimal, serta menghasilkan pemimpin yang benar-benar mewakili seluruh lapisan masyarakat Jakarta,” kata SGY.
Bersabar atau Marah ?
Menurut SGY, masyarakat Betawi telah bersabar lama, berharap bahwa partai politik akan menyadari betapa pentingnya mengusung putra daerah. Namun, kesabaran memiliki batas.
Jika ketidakadilan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin masyarakat Betawi akan menyuarakan ketidakpuasan mereka. Marah bukan dalam arti destruktif, tetapi sebagai tuntutan yang tegas untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka miliki. Kami menginginkan pemimpin yang dapat merasakan dan memahami kehidupan di kampung halaman kami.
Langkah Konkret dan Bersatunya Masyarakat Betawi
Selanjutnya kata SGY, untuk mengubah keadaan ini, langkah-langkah konkret diperlukan. Partai politik harus membuka mata dan hati, memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi putra daerah Betawi.
Pendidikan politik dan peningkatan kesadaran akan pentingnya representasi lokal harus digalakkan terus-menerus. Masyarakat Betawi juga perlu aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka, baik melalui jalur politik maupun sosial.
“Pada intinya, Betawi adalah kampung halaman kita, tempat kita lahir dan besar, dengan segala kekayaan budaya yang harus dihargai dan dilestarikan. Betawi memiliki hak untuk mendapatkan representasi yang adil dalam pemerintahan,” ungkapnya.
Masih menurut SGY, saatnya masyarakat Betawi bersatu, bergandengan tangan. Mari hentikan perselisihan dan buang ego masing-masing.
“Dalam konteks pencalonan tokoh Betawi, model konvensi masyarakat Betawi dapat dipertimbangkan. Semua nama tokoh Betawi yang terpilih dapat disepakati bersama untuk diserahkan kepada partai politik, baik di tingkat provinsi maupun pusat (Dewan Pimpinan Pusat/DPP). Ini adalah satu-satunya cara agar masyarakat Betawi dihargai oleh partai politik untuk memiliki perwakilan mereka dalam Pilkada,” pungkasnya.