HUKUM  

Mengungkap Kompleksitas TPPO: Tantangan, Solusi, dan Upaya Pencegahan di Indonesia

Nusantarapos.co.id, Jakarta – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), atau Human Trafficking merupakan jenis kejahatan terhadap kemanusiaan yang merampas harkat dan martabat manusia.

Kompleksitas TPPO membuat Pemerintah Indonesia menghadapi banyak tantangan, dimana kasusnya masih tergolong tinggi.
Banyaknya jumlah korban ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara asal, negara tujuan, dan juga negara transit TPPO.

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO, Prijadi Santoso mengatakan bahwa dalam TPPO, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan. Mereka biasanya diperdagangkan menjadi tenaga kerja, dipaksa menikah atau dipaksa dalam prostitusi. Anak-anak korban seringkali diperdagangkan melalui adopsi ilegal.

“Kerentanan perempuan dan anak dalam isu ini tetap bertahan karena ketidaksetaraan gender. Perempuan dan anak perempuan memiliki akses yang sangat terbatas ke sumber daya penting seperti informasi,
pendidikan, tanah, dan kesempatan kerja, sehingga membuat mereka lebih miskin.
Sedangkan kemiskinan merupakan salah satu risiko utama migrasi dan TPPO,” ucap Prijadi Santoso dalam acara Media Talk bertemakan “Perempuan Merdeka dari Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang,” Kamis sore (1/8/2024).

Lebih lanjut Prijadi Santoso mengungkapkan,
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu penyebab semakin marak dan meningkatnya kasus perdagangan orang. Hal ini memberikan peluang bagi pelaku untuk memperluas jaringan kejahatannya.

Adapun Karakteristik korban pun mengalami pergeseran dimana pelaku tidak hanya menyasar orang dengan tingkat pendidikan rendah, namun orang dengan pendidikan tinggi pun juga bisa menjadi target dan korban.

Melalui platform online, pelaku merekrut calon korban, memanipulasi situasi, dan mengiming-imingi tawaran magang, kerja, beasiswa, hingga pendapatan instan melalui online scamming.

Kasus terbaru yang juga sama-sama menjadi perhatian kita adalah kasus online scamming yang melibatkan para warga negara Indonesia untuk bekerja sebagai operator judi online di berbagai daerah di Asia Tenggara, khususnya Kamboja dan Myanmar.

Selain itu, perdagangan ilegal organ manusia yang perekrutannya menggunakan media
sosial pun menjadi modus yang menunjukkan adanya dimensi baru dalam TPPO

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2023, tercatat telah terjadi kasus TPPO dengan korban dewasa berjumlah 252 yaitu korban Perempuan dewasa 235 orang dan laki-laki 17 orang. Sedangkan jumlah korban anak sebanyak 206 orang yaitu anak Perempuan 200 orang dan anak laki-laki 6 orang.

Jumlah korban perempuan dan anak dalam TPPO menunjukkan adanya celah signifikan yang perlu diperbaiki. Perbaikan ini mencakup aspek regulasi, kelembagaan, mekanisme kerja, infrastruktur, dan sumber daya manusia untuk mencegah terjadinya TPPO di masa depan.

KemenPPPA, bersama lintas sektor K/L, telah membentuk Gugus Tingkat Pencegahan dan Penanganan TPPO sebagai bagian dari upaya pencegahan perdagangan orang, terutama perempuan. Pembentukan ini berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 69 Tahun 2008 yang diperbarui dengan Perpres Nomor 49 Tahun 2023.

Dimana Polri sebagai ketua harian GT PPTPPO. Guna melaksanakan program kegiatan gugus tugas juga telah diterbitkan Perpres 19 tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) GT PP TPPO periode tahun 2020 – 2024.

KemenPPPA kini fokus sebagai Koordinator Pencegahan GT PP TPPO, mengambil langkah konkret dalam pencegahan dengan meningkatkan pemahaman APH, SDM penyedia layanan, serta masyarakat tentang cara mencegah dan mengidentifikasi kasus TPPO. Selain itu, mereka juga memperkuat koordinasi antar lembaga dan anggota GT PP TPPO untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas dalam perlindungan dan rehabilitasi korban.

Kemen PPPA telah menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang SOP Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO. Peraturan ini bertujuan memastikan bahwa semua pihak terkait menyediakan layanan yang sensitif terhadap gender dan berbasis hak asasi manusia, sambil berupaya membangun kembali kehidupan korban dengan menghormati martabat mereka.

Selain itu, KemenPPPA telah menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban TPPO Berbasis Masyarakat.

Kami mendiseminasikan Peraturan Menteri ini sebagai acuan bagi masyarakat, kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk pemerintah desa, untuk membantu mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan TPPO dan mencegah terulangnya kasus korban di masyarakat.”

Diperlukan gerakan masif dari masyarakat akar rumput dan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi tentang bahaya TPPO di tingkat desa.

KemenPPPA meluncurkan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), yang bertujuan menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO), sebagai salah satu indikator utamanya.

Saat ini, DRPPA/KRPPA telah hadir di 33 provinsi, 68 kabupaten/kota, dan 138 desa/kelurahan. Lebih dari 200 desa/kelurahan kini mengembangkan program ini secara mandiri, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam upaya perlindungan perempuan dan anak.

Kabar baiknya, 119 dari 138 desa kini telah menerapkan peraturan desa yang ramah perempuan dan peduli anak. (Guffe)