Tiga Alasan Kemungkinan Anies Baswedan Gagal Diusung PDIP Maju di Pilkada Jakarta

Penulis: Aktivis Senior Jakarta Sugiyanto

Jakarta, Nusantarapos.co.id – Kabar tentang Pramono-Rano ini mencuat setelah tidak adanya nama Anies yang diumumkan oleh PDIP dalam pengumuman calon kepala daerah gelombang ketiga hari ini, Senin (26-8-24). Berita ini dengan cepat menyebar dan menjadi pemberitaan media serta ramai dibicarakan di media sosial.

Sampai saat ini, ketika saya menulis artikel ini pada Senin malam pukul 20:40 (26-8-24), pasangan Anies Baswedan dan Rano Karno belum diumumkan oleh PDIP. Kini, muncul nama Pramono Anung yang dipasangkan dengan Rano Karno sebagai kandidat yang kemungkinan akan diusung oleh PDIP. Sebelumnya, Anies telah datang ke PDIP, dan namanya sempat disebut-sebut akan diusung sebagai calon Gubernur dari partai tersebut.

Kabar tentang Pramono-Rano ini mencuat setelah tidak adanya nama Anies yang diumumkan oleh PDIP dalam pengumuman calon kepala daerah gelombang ketiga hari ini, Senin (26-8-24). Berita ini dengan cepat menyebar dan menjadi pemberitaan media serta ramai dibicarakan di media sosial.

Melihat situasi ini dan setelah melakukan analisis, kemungkinan besar Anies Baswedan akan gagal maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024 dari PDIP.

Setidaknya ada tiga alasan utama yang kemungkinan besar menyebabkan Anies Baswedan gagal diusung oleh PDIP untuk maju di Pilkada Jakarta 2024.

Pertama, kemungkinan syarat menjadi kader partai yang sulit dipenuhi. Salah satu syarat utama untuk bisa maju sebagai calon gubernur dari PDIP kemungkinan adalah menjadi kader partai. Bagi Anies Baswedan, hal ini mungkin menjadi batu sandungan.

Meskipun Nasdem, PKS, dan PKB mendukung Anies dalam Pilpres 2024, ia tidak bergabung dengan salah satu dari ketiga partai tersebut. Bahkan saat pertama kali namanya diusung dalam Pilkada, Anies tetap berada di luar partai politik. Jika tiba-tiba Anies bergabung dengan PDIP demi maju di Pilkada Jakarta, langkah ini kemungkinan besar akan menimbulkan kekecewaan dan keanehan dari partai-partai yang sebelumnya telah mendukungnya.

Anies mungkin bisa dianggap sebagai “pengkhianat” oleh partai-partai tersebut serta oleh para pendukungnya, yang melihatnya sebagai tokoh independen yang tidak terikat oleh satu partai.

Kedua, kemungkinan tantangan menjadi petugas partai. PDIP terkenal dengan prinsip bahwa setiap kader yang diusung dalam pemilu harus berperan sebagai “petugas partai.” Ini bukan sekadar formalitas; menjadi petugas partai berarti tunduk pada kebijakan dan keputusan partai secara keseluruhan.

Bagi Anies, yang dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang mungkin cendrung independen dan sering mengedepankan gagasannya sendiri, peran ini kemungkinan bisa sangat sulit dipenuhi. Anies harus menyesuaikan diri dengan aturan internal PDIP yang mungkin tidak sejalan dengan visinya sendiri, dan ini boleh jadi bisa menjadi faktor penghalang baginya untuk maju sebagai calon gubernur dari PDIP.

Ketiga, kemungkinan adanya kewajiban mengikuti kebijakan PDIP dalam program gubernur. Jika Anies berhasil menjadi kader PDIP dan bersedia menjadi petugas partai, tantangan berikutnya adalah kemungkinan harus menjalankan program-program gubernur sesuai dengan arahan dan kebijakan PDIP. Ini berarti, kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan Anies sebagai gubernur kemungkinan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan partai.

Bagi seorang Anies yang mungkin terbiasa dengan kebebasan dalam menentukan kebijakan, syarat ini kemungkinan bisa menjadi beban besar. Keterikatan yang kuat pada kebijakan partai ini kemungkinan bisa menghambat kreativitas dan inovasi yang ingin ia terapkan di Jakarta.

Dengan alasan-alasan tersebut, peluang Anies untuk diusung oleh PDIP dalam Pilkada Jakarta 2024 tampaknya akan sangat kecil, bahkan kemungkinan besar gagal. Bukan hanya karena faktor teknis dan ideologis, tetapi juga karena dinamika politik yang bergerak cepat.