Nusantarapos, Jakarta – Di Indonesia, representasi perempuan dalam politik masih jauh dari harapan, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat bahwa jumlah pemilih perempuan hampir setara dengan laki-laki setiap tahunnya.
Ketidakseimbangan ini menyoroti kesenjangan besar antara partisipasi pemilih dan keterwakilan politik perempuan yang sebenarnya.
Titi Eko Rahayu, Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menyatakan keprihatinannya atas rendahnya partisipasi politik perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Hal ini dianggap sebagai masalah serius yang menghambat kekuatan perempuan dalam mendorong kemajuan politik dan pembangunan bangsa Indonesia.
“Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada sering kali diragukan kemampuannya dan masih menghadapi stereotip yang menyebut mereka tidak pantas memimpin,” ujar Titi Eko Rahayu dalam Media Talk di KemenPPPA Jakarta pada Senin (9/9/2024).
Lebih lanjut, situasi ini diperburuk oleh sistem politik Indonesia yang didominasi oleh budaya patriarki, yang seringkali memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak berdaya.
“Padahal, kehadiran perempuan di bidang politik sangat krusial untuk pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang berperspektif gender,” ujar Titi Eko.
“Hal-hal inilah yang membuat perempuan enggan berbicara terbuka, merasa malu, dan kurang percaya diri untuk berkiprah di bidang politik,” ungkap Titi Eko.
Lebih lanjut, Titi Eko mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dalam Pilkada, seperti kekerasan fisik dan psikis, kurangnya standar rekrutmen khusus untuk kandidat perempuan, dan belum adanya program afirmatif dari partai untuk mempromosikan kandidat perempuan.
Oleh karena itu, penting bagi perempuan calon kepala daerah (cakada) untuk memiliki kesadaran gender dan memperhatikan isu-isu gender dalam kampanye Pilkada, selain memahami isu-isu aktual daerah dan tanggung jawab mereka sebagai cakada.
Keterwakilan perempuan sebagai calon kepala daerah penting untuk mewakili kepentingan perempuan dan anak. Sebagai pemilih, kita harus memastikan program calon perempuan dapat mengatasi masalah perempuan dan anak di daerahnya.
Komitmen politik harus menyelesaikan masalah hingga tuntas, tanpa pelanggaran, dan memastikan Pilkada ramah perempuan serta anak.
Kita harus memastikan bahwa Pilkada Serentak tahun ini bebas dari diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai peserta maupun pemilih.
Untuk menciptakan Pilkada yang ramah anak, Titi mengungkapkan bahwa Kemen PPPA bersama berbagai pihak telah menyusun komitmen bersama, yang dituangkan dalam Surat Edaran Bersama (SEB) dari Kemen PPPA, KemenDagri, KPAI, KPU, dan Bawaslu. SEB ini mengatur penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 agar ramah anak.
SEB tersebut mencakup berbagai aspek, termasuk kampanye, proses pemilu/pilkada, penghitungan suara, dan sengketa hasil pemilu/pilkada. Semua pihak harus memprioritaskan pemenuhan dan perlindungan hak anak dalam setiap tahapan tersebut.
Untuk mewujudkan Pilkada yang ramah anak, diperlukan sinergi pentahelix sejak tahap pencegahan. Selain itu, edukasi dan pemantauan penyelenggaraan Pilkada ramah anak harus menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mencegah hal-hal yang merugikan perempuan dan anak.
Diharapkan agar peserta Pilkada Serentak 2024 dan masyarakat sebagai pemilih memiliki komitmen yang sama dalam melindungi anak dari penyalahgunaan selama penyelenggaraan Pilkada, sehingga hak dan perlindungan anak dapat terwujud dengan baik.
Mari lindungi hak anak dan hindari eksploitasi dalam Pilkada. Pilkada harus mendukung kepentingan anak untuk mencapai Indonesia Ramah Anak dan Indonesia Emas 2045.
Titi mengingatkan kontestan Pilkada Serentak 2024 untuk tidak merendahkan harkat jenis kelamin manapun dalam kampanye dan penggunaan media sosial.
Kontestan Pilkada harus memperhatikan tutur kata dan perbuatannya, yang akan menjadi teladan bagi masyarakat, serta sejalan dengan upaya pemerintah menghapus diskriminasi gender terhadap perempuan.
Kontestan Pilkada harus memperhatikan tutur kata dan perbuatannya, yang akan menjadi teladan bagi masyarakat, serta sejalan dengan upaya pemerintah menghapus diskriminasi gender terhadap perempuan.
Sementara itu, Titi Anggraini dari Perludem menegaskan bahwa semua pihak harus bersinergi untuk saling mengingatkan dan mendukung agar Pilkada Serentak 2024 bebas dari diskriminasi terhadap perempuan.
“Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984, menjadikannya hukum positif di Indonesia,” ujar Titi Anggraini.
Titi Anggraini menjelaskan bahwa Konvensi CEDAW menyebut diskriminasi terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM. Perempuan berhak atas hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang setara, dan negara harus melindungi hak-hak ini.
Dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, prinsip dasar CEDAW harus ditegakkan untuk memastikan proses bebas dari diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai peserta maupun pemilih.
Penting untuk memahami visi, misi, dan program calon kepala daerah agar tidak salah pilih dalam Pilkada Serentak.
Selain itu, sebagai pemilih yang loyal, perempuan sering menjadi sasaran praktik jual beli suara dan pemaksaan pilihan akibat relasi patriarkis, yang juga berdampak pada anak perempuan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami visi, misi, dan program calon kepala daerah agar tidak salah pilih dalam Pilkada Serentak.
Meski keterwakilan perempuan masih di bawah 30% dalam Pilkada 2024, kehadiran tiga calon perempuan di Jawa Timur bisa menjadi langkah maju bagi peran politik perempuan.
Kompetisi antara tiga perempuan cakada tersebut dapat menjadi titik balik gerakan mendukung keterwakilan perempuan dalam politik, dimana siapapun pemenangnya merupakan perempuan.
“Sinergitas antara Pemerintah, Partai Politik, dan masyarakat perlu diperkuat agar keterwakilan perempuan dalam pemilu dan pilkada dapat meningkat,” tutup Titi. (Guffe).