Penulis: Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat) Sugiyanto
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Gagasan tentang kampanye untuk kotak kosong atau mencoblos semua kandidat mencerminkan bentuk “mutung” politik, sikap kecewa berlebihan karena harapan pribadi atau kelompok tidak terpenuhi
Pasca pelantikan Presiden Terpilih Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, mari kita bersama-sama mendukung pemerintahan yang baru. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah dengan berpartisipasi aktif dalam mensukseskan Pilkada serentak di seluruh Indonesia, termasuk Pilkada DKI Jakarta yang akan berlangsung pada 20 November 2024.
Jangan mutung atau putus asa, dan jangan kampanyekan untuk memilih semua calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub), atau kotak kosong!
Artikel ini dibuat untuk merespon gagasan atau wacana mencoblos semua Cagub dan Cawagub, atau memilih kotak kosong setelah Anies Baswedan gagal maju dalam Pilkada Jakarta 2024.
Dalam konteks ini, proses pencalonan Cagub DKI Jakarta yang melibatkan Anies Baswedan merupakan bagian dari dinamika politik yang wajar dan lumrah dalam demokrasi. Semua pihak tentu memahami bahwa pencalonan gubernur berasal dari keputusan partai politik (parpol), yang melalui mekanisme internalnya menentukan siapa yang akan diusung.
Oleh karena itu, jika Anies Baswedan tidak mendapatkan tiket untuk maju dalam Pilkada Jakarta 2024, itu bukanlah indikasi adanya tekanan atau sandera politik terhadap partai.
Pertama-tama, harus dipahami bahwa partai politik memiliki otonomi dalam menentukan calon yang diusung. Semua keputusan parpol didasarkan pada berbagai pertimbangan strategis, seperti elektabilitas, kapabilitas, dan kesesuaian dengan visi partai. Menyatakan bahwa parpol “tersandera” karena tidak mengusung Anies yang memiliki elektabilitas tinggi adalah asumsi yang salah dan tidak beralasan.
Bukti nyata bahwa partai politik tidak mudah tersandera adalah keberanian Nasdem, PKS, dan PKB mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.
Langkah ketiga parpol tersebut menunjukkan bahwa partai tidak sedang tersandera. Justru, hal ini menegaskan bahwa tingkat kepercayaan diri dan kemampuan partai untuk memainkan peran strategis di panggung nasional sangat besar.
Jika parpol berani mengusung Anies di pemilihan presiden, maka hal serupa pun bisa dilakukan parpol di Pilkada Jakarta. Adalah hal mustahil parpol tersandera hanya karena keputusan tidak mengusung Anies di Pilkada Jakarta, yang notabene merupakan kontestasi dengan skala lebih kecil.
Selanjutnya, penting untuk diingat bahwa Pilkada merupakan arena politik yang lebih rendah dibandingkan Pilpres. Artinya, keputusan parpol untuk tidak mengusung Anies Baswedan sebagai Cagub tidak dapat diartikan sebagai tanda ketakutan atau upaya untuk menghalanginya.
Elektabilitas tinggi tidak secara otomatis menjamin pencalonan seseorang oleh parpol. Sejarah pun mencatat, pada Pilkada Jakarta 2007, Jenderal (Purn) Agum Gumelar yang memiliki elektabilitas tinggi dan diprediksi menang, akhirnya tidak mendapat tiket Pilkada. Ini membuktikan bahwa elektabilitas bukanlah satu-satunya faktor dalam keputusan politik parpol.
Saat ini, hanya ada tiga kandidat Cagub dan Cawagub DKI Jakarta yang tidak melibatkan Anies Baswedan. Kemunculan narasi “coblos tiga kandidat” atau kotak kosong sebenarnya adalah bentuk kekecewaan yang tidak mencerminkan kedewasaan berpolitik.
Gagasan tentang kampanye untuk kotak kosong atau mencoblos semua kandidat mencerminkan bentuk “mutung” politik, sikap kecewa berlebihan karena harapan pribadi atau kelompok tidak terpenuhi.
Simbol tiga jari bersilang yang digunakan sebagai tanda dukungan untuk coblos tiga kandidat pun dapat dianggap mengarah pada semangat golput atau penolakan terhadap proses politik yang sah.
Namun, perlu diingat bahwa elektabilitas tinggi bukanlah jaminan bahwa seorang calon pasti diusung oleh parpol. Proses politik tidak sekadar angka dalam survei; ia mencakup pertimbangan luas yang melibatkan visi, misi, ideologi partai, serta dinamika internal parpol itu sendiri.
Oleh karena itu, bagi mereka yang mendukung demokrasi, langkah terbaik adalah tetap terlibat dalam Pilkada dengan memilih salah satu dari kandidat yang ada. Memilih semua kandidat, golput atau mendorong kotak kosong bukan solusi yang mencerminkan kedewasaan politik, melainkan respons emosional yang justru melemahkan proses demokrasi itu sendiri.
Pada akhirnya, sikap yang matang dalam politik adalah menerima hasil dari proses politik yang ada. Mendukung kandidat yang dianggap terbaik dan terus memperjuangkan aspirasi dengan cara-cara yang konstitusional dan demokratis adalah langkah tepat.
Mari kita gunakan hak pilih dengan bijak di semua tingkatan, baik kabupaten, kota, maupun provinsi di seluruh Nusantara. Pilkada serentak 2024 merupakan agenda nasional yang sangat penting untuk memilih pemimpin daerah secara demokratis, khususnya pada Pilkada DKI Jakarta 2024.
Jangan Mutung, golput, atau coblos semua kandidat atau meminta kotak kosong!