PACITAN, NUSANTARAPOS, –Pencoblosan dalam penentuan kemenangan calon Bupati dan juga Gubernur dan wakil gubernur telah usai. Masyarakat tinggal menunggu hasil penetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Kabupaten Pacitan.
Seperti halnya di Kabupaten Pacitan ini, dari jumlah Daftar Pemilih (DPT) sebanyak 469.321 pada pilkada ini, quick count telah menunjukkan bahwa paslon nomor urut 02, Indrata Nur Bayuaji – Gagarin Sumrambah unggul dari pasangan Ronny Wahyono-Wahyu Saptonohadi dengan perolehan 199.218, namun, menurut ketua GMNI Pacitan, Muhammad Tonis Dzikrullah menilai jika angka ini ditelaah lebih lanjut bahwa kemenangan tersebut tidak mencerminkan legitimasi yang kuat.
“Perolehan suara pasangan 02 hanya setara dengan sekitar 42,4% dari total DPT, yang berarti mayoritas pemilih tidak memberikan dukungan secara langsung kepada pasangan ini. Bahkan, jika mempertimbangkan tingkat partisipasi pemilih yang rendah dan tingginya angka golput, hasil ini lebih mencerminkan krisis partisipasi daripada mandat yang kuat dari masyarakat,” katanya, Kamis (28/11/24).
Bahkan dirinya menilai kemenangan dengan basis suara yang terbatas seperti ini memunculkan pertanyaan serius mengenai tingkat legitimasi pasangan calon terpilih. “Ini menjadi refleksi atas perlunya evaluasi mendalam, baik dalam strategi sosialisasi pemilu maupun pendekatan politik yang mampu membangun kembali kepercayaan publik. Tanpa langkah konkret untuk memperkuat partisipasi dan representasi, hasil pemilu seperti ini hanya akan memperlebar jarak antara pemimpin dan masyarakat,” lanjutnya.
Sementara itu di lain sisi, Nur Suhud, tokoh politik Pacitan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengatakan, “Pilkada Pacitan 2024 ini kualitasnya menurut saya, paling rendah di Indonesia, alasannya yaitu pemimpin yang gagal kok masih banyak orang yang milih. Kegagalannya apa yaitu banyak infrastrukturnya kacau kayak gitu kok.”
Bahkan dengan banyak anak tidak sekolah, dirinya pun menanyakan sisa anggaran yang sebanyak itu ke mana, karena kenyataannya masih ada daerah miskin yang super kacau kualitasnya.
Ia bahkan mengindikasikan, kemungkinannya pemilih yang sangat rendah ini diartikan mereka bersatu padu memilih yang keliru. “Pasti dengan telanjang itu banyak kepala-kepala Desa terlibat kok itu memaksa menakut-nakuti pemilih, kan perkotaan yang masyarakatnya relatif lebih bisa melihat mereka tidak ada dugaan intimidasi atau apa?” Iimbuhnya.
Sedangkan mengenai intimidasi ini, Nur Suhud juga menyaksikan langsung dan dipaksa oleh Kepala Desa bahwa wajib hukumnya memilih Aji-Gagarin dengan membelokkan. “Itu satu paket sama toh wajib katanya dan dikasih beras salah satu contohnya adalah pejabat kepala desa melati jelas itu,” tegasnya.
“Cara memilihnya warga desa itu ikut-ikutan karena masih ada tokoh dan kepala desa yang mengarahkan pilihannya, namun berbeda pilihan dengan masyarakat perkotaan kan relatif mengikuti berita-berita. Jadi mereka mengerti-mengerti secara persis berhasil dan gagalnya pemerintahan ini, akan tetapi pemerintahan kemarin itu jelas gagal total,” urainya.
Dari hal tersebut, NUr Suhud memberikan pandangan bahwa dari melihat semua aspek pertama yang paling gagal itu tidak pernah menjaring aspirasi, sehingga kebijakan-kebijakan pemerintahan daerah itu super kacau. “Penjaringan aspirasi itu hal pokok, saya lihat semua kepala daerah-daerah reformasi terbiasa ngobrol sama semua warga dengan menerima masukan,” pungkasnya.