Penulis: Sugiyanto (SGY) Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)/Relawan Independen Pendukung Prabowo Saat Pilpres 2019-2024
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, metode penghitungan suara sah selalu menjadi dasar utama dalam menentukan pemenang pemilihan umum. Namun, polemik muncul pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2024 terkait wacana yang mencoba melibatkan suara tidak sah dalam penghitungan.
Jika pendapat tersebut diterapkan, kemenangan pasangan nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel), berpotensi batal. Artinya, suara Pram-Doel yang telah memenuhi syarat untuk menang dalam satu putaran bisa terganggu, bahkan membuka kemungkinan Pilkada berlanjut ke putaran kedu
Polemik dari Grup WhatsApp dan Media Online
Pada Minggu, 8 Desember 2024, pesan beredar di grup WhatsApp INFO DEKAN (Desa-Kota-Nas) yang mempertanyakan dasar penghitungan suara sah. Dalam hal ini, saya tidak perlu menyebutkan sumber asli pesan tersebut, termasuk pihak yang menyebarkannya.
Yang pasti, ada muncul pertanyaan terkait hal itu.
Kemudian, hari ini saya menerima informasi dari salah satu media online yang membahas isu serupa dalam artikel berjudul, “Dari Mana Persentase 50,07 Persen yang Didapat Pramono-Rano?” Artikel tersebut menjelaskan bahwa angka 50,07 persen diperoleh dari pembagian total suara sah pasangan Pramono-Rano (2.183.239 suara) dengan total suara sah seluruh pasangan calon (4.360.631 suara), lalu dikalikan 100.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ada rasa ingin tahu yang besar tentang cara menghitung perolehan hasil Pilkada Jakarta. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya kecenderungan untuk mempertanyakan dasar KPU yang hanya menghitung hasil Pilkada berdasarkan suara sah saja.
Logika Sederhana: Suara Sah Adalah Tolak Ukur
Contoh sederhana dapat diambil dari pemilihan Ketua RT. Jika terdapat 15 pemilih dengan 10 suara sah dan 5 suara tidak sah, maka penghitungan 50 persen plus satu hanya mengacu pada suara sah. Artinya, 50 persen dari 10 suara sah adalah 5, sehingga 50 persen plus satu menjadi 6 suara. Dengan demikian, kandidat yang memperoleh 6 suara sah dinyatakan menang.
Dalam konteks ini, jelas bahwa perhitungan pemenang hanya didasarkan pada 10 suara sah dan tidak melibatkan 5 suara tidak sah. Jika perhitungan pemenang juga melibatkan suara tidak sah, tentu akan menimbulkan kekacauan karena suara tidak sah adalah suara batal yang tidak memberikan tambahan dukungan kepada calon mana pun.
Metode perhitungan berdasarkan suara sah telah konsisten digunakan dalam berbagai jenis pemilihan, mulai dari tingkat RT, RW, hingga pemilihan umum seperti Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Upaya untuk mengubah aturan ini tidak hanya melanggar ketentuan yang berlaku, tetapi juga berisiko merusak legitimasi seluruh proses pemilu.
Fakta Rekapitulasi Pilgub Jakarta 2024
Pada rapat pleno rekapitulasi suara tingkat Provinsi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta resmi menetapkan pasangan nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Doel), sebagai pemenang Pilgub DKI Jakarta 2024 dalam satu putaran.
Hasil rekapitulasi suara resmi adalah sebagai berikut: pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Doel) meraih 2.183.239 suara (50,07%), pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) memperoleh 1.718.160 suara (39,40%), dan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardhana (Dharma-Kun) mendapatkan 459.230 suara (10,53%).
Pada Pilkada Jakarta tersebut diketahui total pengguna hak pilih sebanyak 4.724.393 orang, suara sah tercatat 4.360.629, sementara suara tidak sah sebanyak 363.764.
Atas hasil rekapitulasi tersebut, tentu menjelaskan bahwa kemenangan pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pramono-Doel) sah berdasarkan peraturan yang berlaku. Surat Keputusan KPU Nomor 210 Tahun 2024 menjadi dasar pengesahan ini.
Dengan demikian, hasil perhitungan Pilkada Jakarta harus tetap sejalan dengan preseden yang telah ada. Polemik terkait wacana penggabungan suara tidak sah dalam penghitungan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak legitimasi pemilu. Jika wacana tersebut diterapkan, maka seluruh hasil pemilu sebelumnya, termasuk Pilpres dan Pileg, juga harus dipertanyakan ulang.
Sebagai penutup, perlu saya tegaskan kembali bahwa suara sah harus tetap menjadi tolok ukur yang adil dan transparan dalam setiap pemilihan. Demi menjaga integritas demokrasi, semua pihak harus berpegang pada aturan yang telah berlaku secara konsisten sejak zaman baheula atau dahulu hingga kini, dan tetap relevan di masa depan. Kecuali ada kesepakatan baru atau perubahan aturan yang disahkan melalui undang-undang, melibatkan suara tidak sah dalam penentuan hasil pemilihan tidak dapat dibenarkan.