Perjuangan Dandim Palu Menangani Tragedi Gempa Bumi,Tsunami dan Likuifaksi Palu 2018

Brigjen I Made Maha Yudhiksa

JAKARTA,NUSANTARAPOS,- Pada 28 September 2018, Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah dilanda gempa berkekuatan magnitudo 7,4, disusul tsunami setinggi enam meter yang menghantam garis pantai Palu. Tak hanya itu, fenomena likuifaksi yang melanda Petobo dan Balaroa menelan ratusan rumah ke dalam lumpur bergerak. Bencana ini menjadi salah satu tragedi alam terbesar yang mengguncang Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.

Ketika Bencana Datang
Saat gempa terjadi, tak terasa guncangan hebat terasa di Makodim 1306/Donggala sehingga membuat suasana menjadi kacau. Tanpa listrik, tanpa komunikasi, dan tanpa logistik dan hanya mengandalkan kekuatan yang ada. “Prioritas pertama adalah memastikan keselamatan keluarga, anggota Kodim, dan warga sekitar,” kata I Made Maha Yudhiksa.
Keesokan harinya, sebagai Komandan Kodim, Letkol Kav I Made Maha Yudhiksa langsung turun ke lapangan untuk memimpin evakuasi korban. “Dengan peralatan seadanya, kami berusaha mengevakuasi korban dan membantu masyarakat. Makodim yang awalnya digunakan sebagai tempat pengungsian keluarga anggota, dengan cepat berubah menjadi pusat pengungsian utama bagi ratusan warga yang kehilangan tempat tinggal,” kenangnya.

Penanganan Bencana dan Distribusi Bantuan
Setelah gempa, dengan sigap segera bergerak untuk melakukan penanganan darurat. Jalan-jalan rusak parah, jembatan putus, dan komunikasi terputus total. Namun, kami tidak bisa menunggu. Bersama para Danramil dan Babinsa, bersama anggota pun mulai mendistribusikan bantuan langsung ke titik-titik pengungsian dengan sistem door-to-door untuk menghindari penumpukan di satu tempat.
Dapur umum segera dibangun, yang awalnya hanya melayani keluarga anggota Kodim, tetapi seiring bertambahnya pengungsi, dapur umum tersebut diperluas untuk melayani ratusan orang. Para anggota bekerja keras memastikan kebutuhan dasar—makanan, air bersih, dan obat-obatan—terpenuhi, meski dalam keterbatasan. “Kami bahkan juga melanjutkan distribusi bantuan ke daerah-daerah yang lebih terisolir, dengan medan yang sangat berat, namun kami tetap berjuang untuk memastikan bantuan sampai ke setiap pelosok,” lanjutnya.

Bertahan Bersama Masyarakat
Saya memilih untuk tinggal di tenda lapangan bersama keluarga dan anggota Kodim lainnya. Keputusan ini lebih dari sekadar logistik, ini adalah bentuk solidaritas. Saya ingin memastikan koordinasi berjalan lancar dan seluruh anggota tim tetap fokus pada tugas utama—membantu masyarakat.

Cerita dari Lapangan
Melihat banyak pengorbanan luar biasa dari anggota, dimana salah satunya adalah Kopral Dua Basri, Babinsa Kelurahan Lasoani pada hari pertama setelah gempa yang hanya sempat menyelamatkan keluarganya, pada keesokan harinya, Basri mulai bergerak membantu warga dan berkoordinasi dengan aparat kelurahan. Ia bertahan dengan logistik seadanya selama dua hari hingga bantuan mulai datang.
“Kondisi memang sulit, tetapi tugas kami adalah berbuat semampu kami, dengan tulus dan ikhlas,” katanya. Kata-kata ini terus terngiang dalam benak saya, menjadi pengingat bahwa di tengah keterbatasan, ada keberanian yang luar biasa,” ungkap I Made.

Sebagai seorang nomor satu di Kodim 1306/ Donggala tentu merasa sesak di dada karena bencana ini meninggalkan luka yang sangat dalam, dengan dampak yang luar biasa bagi masyarakat dimana terdapat korban meninggal dunia: 2.101 jiwa, korban hilang: 1.373 jiwa, korban luka-luka: 4.438 orang.

“Untuk yang selamat sekitar 221.450 orang ini bagi yang rumahnya hancur akibat gempa tsunami dan likuifaksi kami segera membuatkan rumah-rumah agar dapat segera ditempati,” terangnya.

Setelah tahap tanggap darurat, tahap rehabilitasi dimulai, Dandim 1036/Donggala juga menyaksikan upaya luar biasa dari semua pihak—pemerintah, TNI, relawan, dan masyarakat—untuk membangun kembali kehidupan yang hancur. Proses rehabilitasi infrastruktur dimulai meski penuh tantangan. Namun, semangat gotong royong membuat segalanya terasa mungkin. “Disitu kami bersama-sama mendirikan kembali rumah, sekolah, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur vital lainnya,” urainya.

Setelah tugas di Palu, kariernya pun terus berlanjut. Letkol Kav I Made Maha Yudhiksa bahkan diberi amanah untuk menjabat sebagai Komandan Distrik Militer (Dandim) Jakarta Barat. Dari tugas inilah baginya dapat membuka wawasan baru tentang pengelolaan daerah metropolitan yang penuh tantangan, sekaligus menjaga stabilitas dan keamanan di tengah kehidupan perkotaan yang dinamis hingga berpangkat Kolonel Kavaleri.

“Setelah dari Kodim Jakarta Barat akhirnya saya diberi kesempatan untuk bertugas sebagai Asisten Logistik Kodam Jaya (Aslog Kodam Jaya), posisi yang sangat penting dalam mendukung berbagai operasi besar dan penanggulangan bencana. Dalam peran ini, saya belajar banyak tentang pentingnya perencanaan logistik yang matang untuk mendukung keberhasilan setiap misi,” terangnya.

Begitu tugas yang diemban ini dapat dikerjakan dengan baik, disitulan Kolonel Kav I Made Maha Yudhiksa mendapatkan tanggung jawab sebagai Paban 2 Bekum Slog TNI, di mana dirinya berfokus pada peraturan dan perundang-undangan militer yang sangat krusial dalam operasi-operasi TNI.

Berkat kerja keras dan juga tanggungjawab yang tinggi, bersama 14 Kolonel TNI lainnya, I Made Maha Yudhiksa dapat menyandang pangkat Brigjen TNI atau jenderal bintang satu. Pengangkayan ini tertuang melalui Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/7/I/2025 tanggal 3 Januari 2025 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.

Brigjen I Made Maha Yudhiksa pun diberikan amanah untuk menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan Sumber Daya (Kapusada) TNI untuk membina dan mengembangkan sumber daya manusia serta mendukung pembinaan persenjataan dalam mendukung tugas-tugas TNI.

Dari situ Brigjen I Made Maha Yudhiksa menilai bahwa perjalanan karir dan langkahnya merupakan pelajaran besar. “Saya yakin, meskipun rintangan besar di depan mata, dengan kerja keras dan kebersamaan, kita akan terus maju membangun bangsa ini,” tekadnya.

Perjalanan dari bencana yang mengguncang Palu hingga karier yang penuh tantangan ini adalah kisah tentang ketahanan, keberanian, dan pengorbanan tanpa pamrih. Saat dunia terpuruk, bersama anggotanya I made Maha Yudhiksa tak memilih untuk berdiam. “Kami melangkah, bergerak meski dalam kegelapan, mengangkat harapan dari reruntuhan, seperti seberkas cahaya yang menembus malam. Setiap tetes keringat, setiap langkah yang diambil, adalah wujud dari semangat yang tak pernah pudar—semangat untuk bangkit, untuk membangun, dan untuk memberi. Seperti pepatah mengatakan, “Badai pasti berlalu,” namun apa yang kita bangun setelahnya akan menentukan sejauh mana kita mampu melangkah. Di tengah deru kehidupan yang terus bergerak, saya percaya bahwa kebersamaan akan menjadi kunci, dan di sanalah kekuatan sejati kita berakar,” pungkasnya.

Penulis: JOKO