Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Pada tanggal 29 Januari 2025 masyarakat Tionghoa dari Sabang sampai Merauke akan merayakan Tahun Baru Imlek (1 Dia Gwee 2576), perayaan tersebut akan disambut suka cita oleh masyarakat Tionghoa baik yang tinggal di kota besar maupun desa-desa.
C. Suhadi Kordinator Tim Hukum Merah Putih yang memiliki darah Tionghoa pun menyatakan bahwa dalam kurun waktu yang panjang, Hari Raya Imlek tidak saja dirayakan dalam bentuk tradisi masyarakat Tionghoa, tetapi akan menyentuh peradaban modern seiring perkembangan jaman.
“Tahun baru (xin nian) atau dikenal juga dengan xin chun (musin semi baru) bukan hanya sekedar pergantian musim, juga bukan sekedar tradisi atau budaya saja. Tahun baru (xin nian) mengandung makna spiritual, sosial, dan makna budaya,” katanya di Jakarta, Senin (27/1/2025).
Menurut Suhadi, tahun baru menjadi momentum untuk introspeksi diri selain itu tahun baru adalah harapan baru. Berdoa dan saling mendoakan satu sama lain serta bersilahturahmi juga bagian dari ritual keagamaan.
Dalam konteks keimanan, tambah Suhadi, umat manusia diwajibkan sejenak merenungi serta memeriksa apa yang telah dijalaninya sepanjang tahun yang telah berlalu. Memeriksa dan merenungkan apa yang telah dikerjakan dan yang belum dikerjakan, meneliti apakah perbuatannya selalu di dalam kebajikan atau sebaliknya.”Hal-hal itulah yang akan dipertanggungjawabkan kepada leluhur dan kepada Tian sebagai wujud bakti dan satya kepada-Nya,” ujarnya.
“Tahun baru juga merupakan momentum untuk memperbaharui diri. Setelah memeriksa diri dari kekurangan-kekurangan, selanjutnya membulatkan tekad dan mengobarkan semangat untuk memperbaiki dan memperbaharuinya pada tahun mendatang,” kata Suhadi.
Suhadi menjelaskan dalam tahun baru kita harus memiliki semangat untuk memperbaharui diri ini yang diteladani oleh Cheng Tang (1766 SM). Semangat itu tersurat di dalam kitab Ajaran Besar, sebagai berikut:”Pada tempayan raja Tong terukir kalimat: Bila suatu hari dapat membaharui diri, perbaharuilah terus tiap hari, dan jagalah agar baharu selama-lamanya.(Ajaran Besar. II: 1)“.
“Tahun baru imlek bukan hanya angpau dan kue keranjang yang menyertai perayaan itu, tapi juga merupakan rangkaian keagamaan yang ditandai dengan peribadahan kepada Tuhan, kepada Alam, dan kepada leluhur. Perayaannya sudah dimulai sejak seminggu sebelum Imlek yang dikenal dengan Dji Si Siang Ang atau hari Persaudaraan,” jelasnya.
Selain itu, sambung Suhadi, pada tahun baru Imlek akan dilanjutkan dengan ibadah chu xi (kepada keluhur) pada petang hari satu hari menjelang Imlek (tanggal 29 Januari 2025) atau 30 bulan 12 Imlek yang dilanjutkan dengan acara. Diteruskan sebagai bentuk kemeriahannya adalah makan bersama (tang yuan). Acara makan bersama ini menjadi momen penting bagi keluarga Tionghoa, karena merupakan saat reuni bagi setiap keluarga.
“Esok paginya, pada hari pertama Imlek semua bersembahyang menyampaikan syukur kepada Tuhan dan Leluhur seraya menyapaikan prasetya dan berkomitmen untuk berusaha lebih baik dalam menjalani tahun yang baru, yang diteruskan dengan memberi hormat kepada orangtua dan saudara saudara yang lain,” tuturnya.
Suhadi menerangkan perayaan atau peribadahan Tahun Baru Imlek dan perayaan lain dalam masyarakat Tionghoa itu sudah ada sejak dahalu kala, yaitu sebelum Khong hu cu lahir. Kenapa Khonghucu menjadi penting ketika membicarayakan hari raya atau ibadah pada kalender imlek, karena lestarinya ajaran, budaya, dan tradisi itu tidak dapat dipisahkan dari peran besar Khonghucu (Kongzi), sebab dari tangan dinginnya Khonghucu (Kongzi), hari-hari besar tetap diingat dan dirayakan hingga sekarang ini.
“Atas jasanya yang besar itu, Khonghucu, oleh kaisar Han Wu Di (Dinasti Han tahun 104 SM.) menetapkan tahun kelahiran Khonghucu (551 SM.) sebagai tahun pertama kalender Imlek. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tahun kalender Imlek pada tahun 2019 – 2570, 551 + 2019),” katanya.
Dengan demikian, lanjut Suhadi, keberadaan dari hari raya baik Imlek sebagai hari raya besar orang Tionghoa, juga hari raya besar lainya yang tertuang dalam penanggalan imlek, tidak dapat dilepaskan dari Peran besar Khong hu cu (Confucius) yang dinobatkan sebagai sebagai Nabi penggenap ajaran ajaran itu.
Dan karena Confucius adalah sebagai penggenap terhadap ajaran lama maka oleh Pemerintah Indonesia telah dinyatakan Khonghucu sebagai salah satu agama ke 6 (enam) di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Kepres No. 6 Tahun 2000, dan telah diumumkan dalam Tambahan Lembaran Negara 165 No. 3886 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967.
Dengan dinyatakannya Khonghucu sebagai agama yang sah dan diakui, secara otomatis segala hal ihwal yang melekat serta apa yang diajarkan maupun dilestarikan Nabi Confucius adalah menjadi produk ke Imanan Agama Khonghucu.
Terlepas dari semua itu, tambah Suhadi, dalam konteks yang lebih luas Imlek harus menjadi milik semua etnis Tionghoa pada umumnya, tanpa harus melihat latar belakang iman agama yang dianutnya, karena hakekatnya Imlek harus dimaknai secara pilosofis, sebagaimana yang disabdakan Konghucu:”Di empat penjuru lautan semua manusia adalah Saudara.”
“Gong he xin xi wan she ru yi hormat/selamat bahagia menyambut tahun baru, semoga semua harapan dapat tercapai. Dan semua kita bersaudara untuk saling menghormati,” pungkas Advokat senior tersebut.