Jakarta, NusantaraPos – Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) meminta iklan rokok tak ditayangkan lagi di televisi dan media informasi lainnya. Promosi dan sponsor perusahaan rokok juga diharapkan tidak muncul. Alasannya, Indonesia dipandang telah darurat bahaya rokok.
“Kita minta iklan, promosi dan sponsor rokok disetop. Baik iklan konvensional ataupun melalui media online,” ujar Ketua LPAI Seto Mulyadi ketika jumpa pers di Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/3/2019).
Menurut pria yang kerap disapa Kak Seto, jumlah perokok dari usia anak-anak di Indonesia kini cukup tinggi. Belum lagi adanya audisi atlet anak yang disponsori perusahaan rokok, semakin menegaskan sikap LPAI yang didukung Persatuan Wartawan Indonesia Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia, Smoke Free Jakarta, Rumah Mediasi Indonesia dan lainnya ini.
“Kami pernah mencatat adanya audisi atlet anak oleh salah satu perusahaan rokok, dan mereka pakai baju sponsor itu iklan juga. Sekarang ini sudah banyak anak-anak yang merokok,” kata dia.
Seto mengungkapkan, di Asia Tenggara sendiri upaya pemerintah melindungi anak-anak dari bahaya rokok sudah dilakukan. Karena itu seharusnya Indonesia mencontoh langkah tersebut.
Lebih lanjut, pihaknya mengimbau orang dewasa berperan aktif melarang atau menegur apabila mengetahui adanya perokok anak. Karena jika mendiamkan aksi tersebut, kata Seto, sesungguhnya ada sanksi yang siap dijatuhkan.
“Apalagi saat ini generasi milenial juga semakin banyak yang mengkonsumsi rokok elektrik. Kami selalu konsisten melakukan perlindungan anak. Perlindungan anak bukan hanya oleh LPAI saja, juga semua stakeholder, pemerintah, ormas, LSM dan sebagainya melindungi anak, itu harus se-kampung,” tuturnya.
Sementara, Seketaris Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Elfansuri mengatakan jumlah anak Indonesia usia 10-18 tahun yang merokok, dari tahun ke tahun terus meningkat.
“Dari data RKD (Riset Kesehatan Dasar/Riskedas) tahun 2013, sebanyak 7,3 persen anak merokok pada 2016 (Sirkernas/Survei Indikator Kesehatan Nasional) sebesar 8,8 persen dan pada 2018 lalu, ada sekitar 9,1 persen, berdasar data RKD tahun 2018. Jadi hal ini harus jadi perhatian bersama, perlu ada pengendalian rokok yang kuat termasuk juga pelarangan iklan rokok,” kata Elfansuri.
Pihaknya juga prihatin terhadap belum adanya regulasi yang mengatur pelarangan iklan rokok di dunia maya, ditambah maraknya milenial yang mengkonsumsi rokok elektrik. (RK)