Oleh: Sugiyanto Pengamat Kebijakan Publik
Jakarta, Nusantarapos.co.id – Sepertinya saya perlu menulis artikel ini dengan judul di atas untuk memberikan pemahaman yang rasional kepada pihak-pihak tertentu yang mungkin kurang memahami proses Pilkada Jakarta serta dinamika pergantian Gubernur baru. Kepemimpinan Pramono Anung di Provinsi DKI Jakarta resmi dimulai setelah ia dilantik pada 20 Februari 2025. Pada saat itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 sebenarnya telah lebih dahulu dirancang dan disahkan oleh mantan Penjabat (Pj.) Gubernur Teguh Setyabudi pada November–Desember 2024.
Dengan demikian, program-program unggulan yang dicanangkan pasangan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno belum dapat langsung dijalankan melalui APBD tahun tersebut, kecuali dalam bentuk penyesuaian atau penggantian kegiatan melalui mekanisme perubahan APBD yang diarahkan untuk mendukung pelaksanaan visi dan misi pemerintahan Pramono–Rano.
Sementara itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta periode 2025–2029 baru rampung disusun sekitar September- Oktober 2025. Dari dokumen inilah visi, misi, serta program prioritas Pramono–Rano mulai dimasukkan ke dalam kerangka pembangunan jangka menengah. Dengan demikian, pelaksanaan penuh program mereka secara struktural baru akan dapat berjalan secara efektif melalui APBD tahun 2026 dan seterusnya.
Dalam konteks penanganan banjir, hal ini perlu dipahami sebagai kerangka kerja institusional. Pada tahun pertama masa jabatannya, Gubernur Pramono belum memiliki kendali penuh atas struktur anggaran dan program strategisnya. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil pada periode awal lebih bersifat responsif terhadap situasi darurat, bukan agresif dalam mengimplementasikan strategi jangka panjang sebagaimana tertuang dalam RPJMD yang baru disahkan.
Masalah banjir di Jakarta sendiri bukanlah fenomena baru. Sejak masa kolonial Belanda hingga kini, persoalan banjir di kawasan Kali Ciliwung, rob di bagian utara, serta kiriman air dari wilayah hulu telah menjadi tantangan struktural. Penanganan banjir karena itu harus dilakukan secara terencana, melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas wilayah, serta memadukan aspek teknis, ekologi, tata ruang, dan regulasi.
Namun, muncul pandangan keliru yang menilai kebijakan Gubernur Pramono bersifat “reaktif”. Kritik semacam ini muncul dari sebagian pihak yang tidak memahami konteks kebijakan dan keterbatasan kelembagaan di awal masa pemerintahan. Sebagai contoh, ada yang menuding bahwa Pemprov DKI baru bertindak setelah banjir terjadi, bukan dalam rangka pencegahan.
Dalam masalah banjir di Jakarta, faktor penyebabnya sangat beragam. Pertama, banjir disebabkan oleh kiriman air dari wilayah hulu, termasuk dari Bogor, bukan semata-mata akibat curah hujan di Ibu Kota. Selain itu, pasang air laut (rob) dan intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah Jakarta juga turut memperburuk kondisi genangan.
Upaya antisipasi yang dilakukan secara umum meliputi pembukaan pintu air agar aliran lebih lancar. Tidak hanya itu, langkah cepat untuk mengaktifkan seluruh unit pompa di berbagai titik rawan genangan juga menjadi hal penting. Selain itu, pelaksanaan modifikasi cuaca untuk mengendalikan potensi hujan ekstrem yang dapat memperbesar risiko banjir juga termasuk bagian dari strategi pengendalian banjir.
Dalam konteks tersebut, Gubernur Pramono menegaskan bahwa penanganan banjir tidak boleh dilakukan secara parsial. Semua pihak harus bekerja sama secara lintas sektor dan lintas wilayah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia memahami persoalan banjir secara komprehensif, dengan mengedepankan konsep antisipasi jangka panjang, bukan tindakan dadakan atau sekadar bersifat reaktif.
Secara normatif, langkah-langkah tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengurangi risiko bencana, melakukan mitigasi, serta menyiapkan tanggap darurat dan pemulihan.
Meski demikian, ada beberapa catatan yang dapat menjadi masukan konstruktif. Pertama, karena sebagian besar penyebab banjir berasal dari air kiriman, maka strategi efektif harus mencakup kerja sama antarwilayah (hulu-hilir). Penguatan koordinasi antara Pemprov DKI dan provinsi tetangga seperti Jawa Barat menjadi krusial, terutama dalam pengendalian tata ruang, bangunan di bantaran sungai, serta pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Hingga kini, kerja sama formal yang kokoh dalam aspek tersebut masih perlu ditingkatkan.
Kedua, fokus pada kemampuan teknis dalam menghadapi banjir, seperti pengoperasian pompa dan pengaturan pintu air, lebih menunjukkan pendekatan mitigasi jangka pendek. Ke depan, pendekatan preventif perlu diperkuat melalui penataan tata ruang yang berkelanjutan, normalisasi sungai berskala besar, pengembalian fungsi lahan resapan, serta penegakan regulasi terhadap bangunan di zona rawan banjir.
Kebijakan lain yang juga relevan adalah pembangunan tanggul pantai dan proyek Giant Sea Wall berskala besar yang termasuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).
Ketiga, karena program prioritas Pramono–Rano baru akan berjalan penuh mulai tahun 2026, maka wajar bila pada tahun 2025 kebijakan yang terlihat masih bersifat adaptif dan penyesuaian. Publik mungkin belum melihat perubahan signifikan, tetapi fondasi kebijakan jangka panjang sedang disiapkan melalui RPJMD.
Keempat, pernyataan Gubernur Pramono bahwa “penanganan banjir di Jakarta lebih cepat” menunjukkan keberhasilan dalam hal respons bencana. Namun demikian, percepatan penanganan tetap perlu dilengkapi dengan reformasi kebijakan struktural agar tidak hanya bersifat responsif, tetapi juga transformatif.
Dengan kerangka tersebut, pandangan bahwa kebijakan Pramono reaktif jelas tidak berdasar. Gerak cepat menghadapi banjir bukan bukti kelemahan strategi, melainkan bagian dari sistem pengelolaan risiko yang terintegrasi. Langkah operasional seperti pengaktifan pompa, pembukaan pintu air, dan pemantauan sungai merupakan bagian penting dari strategi mitigasi terpadu. Namun, mengatasi akar persoalan banjir Jakarta tetap membutuhkan kerja sama besar antarwilayah, perencanaan matang, dan sinergi antarlembaga.
Untuk mewujudkan perubahan yang berkelanjutan, pemerintah perlu memperkuat kerja sama antarprovinsi dan kabupaten penyangga dalam pengelolaan DAS, menetapkan indikator keberhasilan mitigasi yang terukur dalam RPJMD, menegakkan regulasi bangunan di zona rawan, serta mengarahkan anggaran menuju adaptasi iklim dan keberlanjutan ekosistem perkotaan. Transparansi dan akuntabilitas publik juga menjadi kunci agar masyarakat dapat mengawasi progres kebijakan secara objektif.
Publik perlu memahami bahwa kewenangan Gubernur Pramono belum sepenuhnya terimplementasi dalam APBD 2025. Oleh karena itu, harapan terhadap “solusi cepat” perlu disesuaikan dengan realitas kelembagaan yang ada. Pada saat yang sama, masyarakat juga berhak menuntut agar program struktural yang disusun dalam RPJMD mulai menampakkan hasil pada tahun-tahun berikutnya.
Menimpakan seluruh kesalahan kepada gubernur jelas keliru, karena banjir Jakarta merupakan persoalan bersama yang menuntut tanggung jawab kolektif. Pendekatan reaktif mungkin memberikan dampak jangka pendek, namun untuk memastikan Jakarta terbebas dari siklus banjir tahunan, dibutuhkan visi besar yang menekankan transformasi struktural, ekologis, inklusif, dan lintas wilayah.

