JAKARTA, NUSANTARAPOS – Sidang perkara Nomor 236/G/2025/PTUN.JKT mengenai perselisihan antara 42 warga penghuni ruko Marinatama, Mangga Dua, Jakarta Utara dengan pihak pengelola kembali digelar hari ini di Pengadilan Tata Usaha Negara Cakung, Rabu (12/11/2025). Agenda utama sidang kali ini mendengarkan jawaban dari pihak tergugat.
Diketahui, permasalahan bermula dari belum
diterbitkannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak warga pertama kali membeli ruko tersebut pada tahun 1997. Padahal saat itu telah ada Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Kemudian di tahun 2001, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara justru menerbitkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 477 atas nama Kementerian Pertahanan.
Hingga saat ini, SHGB yang belum diterbitkan membuat status kepemilikan ruko yang digunakan 42 warga tersebut tidak jelas. Dan mereka kini tengah memperjuangkan status ruko tersebut ke PTUN Jakarta untuk membatalkan SHP agar mendapatkan SHGB.
Kuasa hukum penggugat, Subali, SH mengatakan sudah menyampaikan ke pihak Majelis mengenai prosedur Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan dasar Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965.
“Disitu ada suatu undang undang yang harus dijelaskan oleh ahlinya, dalam hal ini ahli tentang konversi tanah,” ujarnya.
Maka dari itu, pihaknya telah bersurat ke Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk meminta bantuan menghadirkan saksi ahli yang berkompeten pada sidang minggu depan.
“Namun demikian untuk bisa dimintai keterangannya perlu ada CV tergugat. Tapi yang jelas calon saksi ahli adalah dosen senior,” terang Subali.
Dia menegaskan, sangat memahami kesulitan 42 warga penghuni dan ingin agar negara turun tangan membantu persoalan dengan pihak Inkopal.

“Kami tetap berusaha keras supaya negara ini hadir dalam konteks untuk menjembatani supaya terjadi kondusif antara warga penghuni ruko Maritanama dengan Inkopal,” paparnya.
Subali menambahkan, kalau dua minggu lalu pihaknya juga telah mengirimkan surat kepada Kementerian Pertahanan untuk menyediakan ruang mediasi, namun belum ada jawaban.
Dia berharap, agar jangan ada tindakan melanggar hukum yang merugikan 42 warga pemilik ruko. “Kita kan negara hukum, dalan proses ini jangan sampai ada pihak lain yang melakukan pelanggaran hukum. Misalnya pengosongan yang nota bene apapun alasannya, pengosongan itu harus adanya penetapan eksekusi dari PN. Karena warga itu ada sejarahnya, sejak belum terbit hak pakai masih tanah negara,” tandasnya. (Arie)

