Jakarta, NUSANTARAPOS – Banyak pihak menilai kewenangan kepolisian dalam Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) yang baru disahkan oleh DPR RI kemarin sangat berlebihan. Demikian dikatakan Prof. Gayus Lumbuun mantan Hakim Agung dalam keterangan persnya, Rabu (19/11/2025).
Prof Gayus mengatakan misal terkait penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan. Seperti pada Pasal 27 yang mengatakan, “Dalam hal terhadap penghentian penyidikan yang dilakukan untuk menindaklanjuti keputusan gelar perkara diajukan permohonan ke pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan pengadilan negeri memutuskan penghentian penyidikan tidak sah, Penuntut Umum wajib melakukan penuntutan”.
Demikian juga dengan penahanan tersangka, lanjut Prof Gayus, sejatinya tidak diperlukan izin pengadilan. Alasannya, di banyak wilayah, lokasi kepolisian dengan pengadilan cukup berjauhan.
“Wilayah Indonesia luas. Di banyak tempat, jarak kepolisian dengan pengadilan berjauhan. Tentu ini akan menyulitkan nantinya. Cukup berkoordinasi melalui pemberitahuan, sebagaimana konsep SPDP dengan Kejaksaan,” jelasnya.
Disamping izin pengadilan, tindakan penahanan merupakan proses birokrasi yang panjang. Hal tersebut mengesankan pengadilan bukan sebagai lembaga peradilan, melainkan sebagai penentu proses hukum yang akan melakukan proses hukum yang mengadili perkara pidana ditempat tersebut.
Dengan tegas Prof Gayus meminta untuk tidak menjadikan lembaga peradilan seperti lembaga administrasi publik saja.
“Jangan jadikan peradilan sebagai lembaga administrasi publik semata, tapi harus ditempatkan sebagai lembaga yang memberi keadilan terhadap sebuah perkara. Peradilan memiliki marwah untuk memutus suatu perkara, bukan mengurus administrasi,” tegasnya.
Peran PPNS
Hal lain yang juga dikritisi adalah peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), yang menurutnya bukan penegak hukum.
Bagi Prof Gayus, penting bila Polri berperan sebagai koordinator PPNS untuk perkara-perkara pidana, termasuk untuk mengadapi gugatan praperadilan.
Diketahui, Polri adalah penegak hukum, sementara PPNS tidak. “Tidak bisa PPNS berdiri sendiri, melainkan harus berkoordinasi dengan Polri, khususnya dalam menghadapi sidang praperadilan,” serunya.
Sementara itu, terkait restoratif justice, Prof Gayus berpendapat, perlu diterapkan konsep ultimum remedium (upaya terakhir dalam penegakan hukum), dengan tetap melihat keadaan korban.
“Restoratif justice tetap diperlukan dengan syarat pertanggungan jawab pimpinan tertinggi di lembaga pelaksana penyidikan dan sebagaimana ketentuan adanya SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) diperlukan pemberitahuan proses restoratif justice,” tandasnya.
Prof Gayus menegaskan, restorative justice perlu dijalankan dengan melihat kondisi korban dan bertujuan atau orientasinya untuk memulihkan kondisi (restorasi) dari korban.

