JAKARTA,NUSANTARAPOS, – Upaya pemerintah memperkuat perlindungan perempuan di Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender masih menjadi ancaman serius.
Peluncuran Analisis Mendalam Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 hari ini kembali membuka mata publik akan besarnya tantangan yang masih dihadapi perempuan Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) secara resmi merilis hasil analisis mendalam SPHPN 2024 di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (5/12/2025).
Salah satu temuan utama menyebutkan bahwa 1 dari 10 perempuan atau sekitar 10% pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan selama hidupnya.
Menteri PPPA Arifah Fauzi menegaskan bahwa angka tersebut merupakan peringatan keras bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi dan membutuhkan respons cepat, strategis, dan terintegrasi.
“Selain kekerasan oleh pasangan, 1 dari 6 perempuan juga mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh orang selain pasangan. Kekerasan psikologis, kekerasan berbasis elektronik, serta kerentanan perempuan disabilitas juga meningkat. Ini menuntut langkah perlindungan yang lebih kuat,” ujar Menteri PPPA.
Kemen PPPA mengungkapkan bahwa 28% perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan melaporkan menderita cedera.
Dari jumlah tersebut: 40% mengalami kekerasan berulang sebanyak 2–5 kali, 38% mengalaminya satu kali, 20% mengalami lebih dari lima kali kekerasan.
Bentuk cedera yang dialami pun beragam, mulai dari memar, goresan, keseleo, luka bagian dalam, patah tulang, kerusakan gendang telinga, hingga luka bakar.
“Luka fisik ini meninggalkan jejak trauma mendalam,” ucap Menteri PPPA.
Selain kekerasan fisik, pemerintah juga menyoroti praktik sunat perempuan, yang menurut Menteri PPPA tak memiliki manfaat medis dan berisiko jangka panjang.
Data SPHPN menunjukkan: ahun 2021, 50,5% perempuan pernah disunatt; tahun 2024, angkanya menurun menjadi 46,3% namun masih sangat memprihatinkan;
41,4% praktik sunat perempuan mengakibatkan pelukaan yang masuk kriteria WHO. Hampir separuh proses sunat dilakukan oleh tenaga kesehatan.
“Ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan regulasi yang lebih tegas, edukasi publik, serta kolaborasi lintas sektor untuk menghentikan praktik tersebut,” tegas Menteri PPPA.
Kendati pemerintah terus memperluas layanan perlindungan, hingga Juli 2025 masih terdapat: 4 provinsi, dan 147 kabupaten/kota yang belum memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Padahal, pembentukan UPTD PPA merupakan mandat penting dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Kami terus mendorong pemerintah daerah untuk segera membentuk UPTD PPA demi pemerataan layanan komprehensif bagi perempuan dan anak korban kekerasan,” ujar Menteri Arifah.
Perwakilan UNFPA untuk Indonesia, Hassan Mohtashami, memberi apresiasi atas kepemimpinan Indonesia dalam menyoroti isu kekerasan berbasis gender, termasuk sunat perempuan dan perkawinan anak.
Menurutnya, SPHPN 2024 menjadi pondasi kuat untuk memperkuat kebijakan dan layanan perlindungan.
“Tidak ada negara yang bisa mengatasi isu ini sendirian. Indonesia menunjukkan langkah maju dengan menjadikan data sebagai dasar kebijakan. UNFPA akan terus memberikan dukungan,” tegasnya.
Sebelum peluncuran laporan, Menteri PPPA juga menggelar Breakfast Meeting bersama mitra pembangunan dari lebih dari 20 negara dan organisasi internasional
termasuk Uni Emirat Arab, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Australia, hingga lembaga seperti World Bank, ADB, dan KOICA.
Pertemuan ini membahas penghapusan kekerasan terhadap perempuan, penghentian praktik sunat perempuan, serta penyelarasan dukungan berbasis data dan pendanaan program yang efektif.
Kemen PPPA menegaskan bahwa seluruh temuan dalam SPHPN 2024 akan digunakan sebagai dasar memperkuat kebijakan nasional, meningkatkan kapasitas layanan, dan menciptakan sistem perlindungan perempuan yang lebih inklusif dan terintegrasi.
Target akhirnya adalah Indonesia yang aman, setara, dan bebas dari kekerasan.

