banner 970x250
HUKUM  

Notaris dan Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS)

DR. Diah Sulistyani Muladi, SH, CN.MHum (Liezty Muladi) Ketua Bidang Kaderisasi dan Kepemimpinan PP INI.

Ditulis Oleh : DR.Diah Sulistyani Muladi, SH, CN.MHum (Liesty Muladi)

Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memperhatikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018 Tentang “Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme”.

Tindak pidana pencucian uang (TPPU), teridentifikasi bahwa tingkat ancaman TPPU yang dilakukan korporasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilakukan oleh orang perorangan. Korporasi kerap kali digunakan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana khususnya tindak pidana Pencucian uang. TPPU semakin kompleks, melampaui batas-batas yurisdiksi atau transnasional, dan menggunakan modus yang semakin variatif, menggunakan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Selain penanggulangannya skala nasional namun penanggulangannya diperlukan kerjasama negara – negara di tingkat regional dan di tingkat internasional. Melalui forum bilateral atau multilateral, agar tindak pidana yang menghasilkan kekayaan tidak sah tersebut dapat diminimalisasi mengingat modus operandinya kini semakin canggih dan terorganisasi baik nasional maupun transnasional.

Akhir-akhir ini dalam beberapa kasus, para penegak hukum mulai bertekad untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam tindak pidana, seperti pidana korupsi, perpajakan, lingkungan hidup, pencucian uang dan lain-lain. Nampaknya ditemukan banyak fakta hukum yang ditengarai adanya beberapa korporasi telah diuntungkan oleh tindak pidana tersebut (crimes for corporation), atau bahkan ada kemungkinan bahwa korporasi tersebut justru dibentuk untuk melakukan atau menampung hasil kejahatan (corporate criminal).

Korporasi tidak harus dimaknai hanya sebagai badan hukum (legal entity), tetapi harus diartikan lebih luas sebagai : kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan demikian di samping bisa berupa Perseroan Terbatas, koperasi, yayasan, bisa juga berupa firma, perseroan komanditer, perkumpulan dan lain-lain.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 59, yang bisa melakukan tindak pidana dan yang bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hanyalah manusia alamiah (natural person), yaitu para pengurusnya, sedangkan terhadap badan hukum berlaku doktrin Latin klasik yang mewarnai KUHP Belanda 1886 pada saat disusun yaitu – universitas/societas delinquere non potest – (badan hukum atau perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana ).

Namun di luar KUHP, sejak tahun 1955 terdapat lebih dari 60 (enampuluh) Undang-undang yang memungkinkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Dengan demikian korporasi sesuai dengan perumusan Undang-undang masing-masing, kemungkinan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan dijatuhi pidana. Contoh dalam tindak pidana korupsi, terhadap korporasi dapat dijatuhkan pidana denda dan pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak dan tidak bergerak, pembayaran uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan maksimum 1 tahun, pencabutan hak tertentu, dan penghapusan keuntungan tertentu.

Dari berbagai macam teori yang ada, Indonesia cenderung mendayagunakan teori identifikasi atau “Alter Ego Theory” (Instrumental Rule), yang menyatakan bahwa tindak pidana dilakukan oleh korporasi, jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dengan demikian baik korporasi dan/atau pengurusnya dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Perlu dicatat bahwa perilaku korporasi sebenarnya merupakan atribut atau identifikasi atau instrumen dari kehendak orang-orang yang memiliki kedudukan fungsional tersebut.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, yang kemungkinan bisa menunjuk orang lain. Hakim dalam hal ini dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. Surat dakwaan bagi korporasi terpisah dari dakwaan terhadap pengurus.

Pergeseran teoritik tentang pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana pula yang terjadi di berbagai negara, diakibatkan oleh berkembangnya kesadaran terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, baik terhadap Negara (misalnya penggelapan pajak, terorisme, tindak pidana Pencucian uang, korupsi), perusahaan saingan (persaingan tidak sehat), perlindungan konsumen, masyarakat (pencemaran lingkungan hidup), pemegang saham (akibat sanksi penutupan usaha), maupun terhadap buruh (kurangnya perlindungan keamanan kerja), akibat perilaku anomis korporasi yang hanya berorientasi kepada keuntungan dan menyampingkan asas “good corporate governance” dan etika bisnis.

Mengamati perkembangan sebagaimana hal-hal tersebut di atas, sebagai Notaris yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah apakah akan berdiam diri, Notaris Harus Sadar Bahwa Notaris Tidak Hidup di Ruang Hampa. Notaris tidak boleh cuek terhadap apa yang terjadi di NKRI, Notaris sebagai Pejabat Umum harus turut serta dalam mendukung pembangunan nasional dan berperan aktif untuk berpikir secara strategis dalam pembuatan akta-akta agar lebih hati-hati memberikan pelayanan kepada masyarakat guna meningkatkan ketahanan nasional. Khususnya Notaris juga berperan aktif dalam pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam menjalankan jabatannya dengan memperhatikan asas-asas Good Governance dan Good Corporate Governance.

Sebagai langkah antisipasi dan pencegahan terjadi praktik tersebut, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Beneficial Owner-BO). Aturan tersebut dinilai akan mendorong transparansi informasi beneficial owner dari korporasi. Pengaturan dan penerapan transparansi informasi BO dalam Peraturan Presiden tersebut diharapkan informasi BO dapat memadai, akurat atau terjamin kebenarannya, serta dapat diakses dengan cepat agar keberadaan korporasi di Indonesia tidak dapata dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana. Indonesia sudah sangat mendesak untuk melakukan penguatan peraturan dan penerapan transparansi informasi pemilik manfaat atau beneficial owner (BO) dari koporasi.

Di dalam Pasal 19 Peraturan Presiden No.13 Tahun 2018, diatur bahwa Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, pengesahan, persetujuan, atau perizinan usaha Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dilakukan melalui penyampaian informasi Pemilik Manfaat dalam hal Korporasi telah menetapkan Pemilik Manfaat atau penyampaian surat pernyataan kesediaan Korporasi untuk menyampaikan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang dalam hal Korporasi belum menetapkan Pemilik Manfaat. Korporasi yang belum menyampaikan informasi Pemilik Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menetapkan dan menyampaikan informasi Pemilik Manfaat kepada Instansi Berwenang paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Korporasi mendapat izin usaha/tanda terdaftar dari instansi/lembaga berwenang. Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi Pemilik Manfaat secara berkala setiap 1 (satu) tahun.

Di dalam Pasal 22 Peraturan Presiden No.13 Tahun 2018, diatur bahwa Korporasi, Notaris, atau pihak lain yang menerima kuasa dari Korporasi wajib menatausahakan dokumen terkait Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak tanggal pendirian atau pengesahan Korporasi.

Berdasarkan uraian sebagaiman hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa dengan Peraturan Presiden tersebut peran Notaris harus berpartisipasi aktif dalam pencegahan tindak pidana Pencucian uang khususnya yang menyangkut tindak pidana yang dilakukan Korporasi juga.

Mengingat Notaris juga harus waspada dalam pembuatan akta-akta antara lain terhadap Korporasi yang didirikan oleh oknum-oknum tertentu yang ternyata bermain berada di belakang layar, Peraturan Presiden tersebut untuk mencegah antara lain tindak pidana pencucian uang. Pasal 28 UU TPPU diatur bahwa pelaksanaan kewajiban pelapiran oleh pihak pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan. Notaris memang wajib menjaga kerahasiaan kliennya, namun dengan adanya ketentuan Pasal 28 UU TPPU, maka Notaris dalam ikut serta dalam program Pemerintah tentang GRIPS sudah mendapat perlindungan oleh UU.

Sekali lagi, Notaris Tidak Hidup di Ruang Hampa Tapi Ada Dalam NKRI, namun wajib peduli terhadap NKRI, dan sudah dilindungi oleh UU TPPU.