JAKARTA – KEJADIAN berlanjut perbuatan teror dan pembunuhan kepada rakyat di Nduga Papua, sejatinya tidak perlu terjadi karena yang terbunuh ada pekerja karyawan swasta yang melakukan pembangunan Jembatan dalam rangka menyelesaikan pembangunan jalan Trans Papua.
“Kita perlu melakukan analisa dan evaluasi terhadap keberadaan Separatis Papua yang selalu dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebenarnya kekuatan mereka tidak lebih dari 150 orang yang tersebar diseluruh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Peduli Nasional Anti Narkoba, Tawuran dan Anarkis (DPN Gepenta), Brigjenpol (Purn.) Dr. Parasian Simanungkalit, SH, MH dalam kiriman rilis yang diterima redaksi, di Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Menurut Parasian, sejak kita merebut Irian Barat (sekarang Papua) dalam tahun 1963, Pemerintah Belanda mengorganisir OPM untuk tetap melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia. Tujuan mereka yang ada di luar Negeri yaitu orang Papua yang ikut ke Belanda pada saat penyerahan Irian Barat kepada Indonesia.
Mereka tidak banyak, hanya beberapa orang yang selalu berhubungan dengan orang yang dibiayai mereka berada di Papua. Namun yang ikut dalam OPM tersebut hanya ratusan orang di dua Provinsi dan terutama di Perbatasan Papua dengan Negara Papua New Guinea.
Setelah Pemerintahan Jokowi yang telah merobah pendekatan keamanan (Security) menjadi pendekatan kesejahteraan (Prosperity), kegiatan Separatis Papua telah kendor dan banyak yang turun gunung dan ikut rakyat setempat. Namun karena kegiatan mereka hanya mencari makan tanpa menanam, karena di hutan tempat mereka tidak dapat bercocok tanam maka mereka lebih baik menerima kiriman dari luar negeri untuk bertahan hidup sekedarnya.
Dari kondisi seperti itu, lanjut Jenderal yang sudah banyak menulis buku ini, maka Pemerintah Indonesia lebih baik tetap mendahulukan pendekatan kesejahteraan dari pada keamanan. Artinya agar Pemerintah memberikan lokalisasi wilayah kepada mereka bermukim di satu kecamatan dengan membangun rumah, tanah untuk bertani dan memberikan subsidi pangan serta fasilitas lainnya. Karena mereka tidak tahu apa yang dilakukan hanya ingin hidup dari penderitaan yang mereka alami.
Diterangkannya, mengajak mereka berperang atau membunuh mereka bukanlah menyelesaikan masalah, sebagaimana disarankan oleh beberapa pengamat yang tidak mengerti kondisi Irian Barat atau Papua. Pengalaman saya berada di Papua tahun 1987 sampai tahun 1991, memberikan pelajaran bahwa pada waktu itu menonjolkan pendekatan keamanan atau security tidak banyak manfaat yang didapat. Tetapi dengan pendekatan Kesejahteraan atau Prosperity akan lebih bermakna.
Parasian menceritakan, pengalaman pada tahun 1988 Polsek Erambu di wilayah Kabupaten Merauke diserang oleh OPM, dan Polsek dibakar serta satu orang anggota Polisi terluka tembak. Kemudian markas Polsek dibakar.
“Saya dengan pasukan datang ke Erambu. Pelaku OPM lari ke hutan, tetapi setelah diadakan makan bersama sesuai adat disana, maka mereka yang pelaku juga ikut makan. Pada kesempatan itulah saya sampaikan bahwa kita bersaudara, sebangsa dan setanah air, tidak baik saling membunuh, nanti kalau kita mati akan masuk neraka. Lebih baik kita cari makan di dunia ini dan jangan saling menganiaya, karena kita satu Negara yaitu Indonesia,” cerita Parasian yang anggota Legium Pejuang Veteran RI.
Kenangan makan bersama mereka masih kembali setiap kali saya melihat duka rakyat Papua. Dalam jamuan makan bersama dengan para pelaku OPM mereka berbicara dari hati yang terdalam. Salah satu dari anggota itu berdiri dan berkata “Kita mau hidup tapi tak ada diberi makan bapa (baca: pemerintah)”.
Inilah problem mereka. Jadi kalau Pemerintah membangun satu daerah memberikan kehidupan kepada mereka maka separatis itu akan meninggalkan pekerjaan mereka tidak lagi mencari makan dihutan melakukan intimidasi dan teror kepada rakyat setempat dan akan mendukung Pemerintah menciptakan Papua aman dan makmur dan sejahtera. (Toni)