Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia sudah tak relevan lagi digunakan untuk saat ini. Untuk itu perlu adanya perubahan agar lebih sempurna mengikuti perkembangan jaman yang ada.
Demikian diungkapkan oleh Otty H.C Ubayani Panoedjoe usai menjadi pembicara di Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh BPHN dan Kemenkumham bertemakan “Penyempurnaan Naskah Akademik RUU Perubahan UU NO 42 tahun 1999 tentang Fidusia” di Ruang Rapat lt 4, Gedung BPHN, Cililitan, Jakarta Timur, Selasa (9/7/2019).
Otty mengatakan dengan adanya FGD ini tentunya sangat menguntungkan karena kita bisa memberikan masukan kepada Kemenkumham terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut.Seperti kita ketahui usia UU Fidusia sudah 20 tahun tetapi belum ada perbaikan seiring perkembangan jaman, terlebih di era globalisasi maupun era revolusi industri 4.0.
“Tentunya harus banyak sekali perubahan-perubahan yang harus dimasukkan di dalam UU Fidusia. Dengan adanya pembahasan RUU ini, semua pihak dipanggil dan didengarkan itu menurut saya sangat baik sekali untuk kemajuan,” katanya.
Otty mengaku kagum dengan BPHN yang bisa mendengarkan semua masukan dari berbagai pihak yang hadir.”Saya salut dengan BPHN semua masukan-masukan kami didengarkan, apa saja yang menjadi kepentingan kita didengarkan dan semoga saja nanti ditampung menjadi sebuah naskah akademik yang lebih sempurna,” ujarnya.
Otty menjelaskan RUU Fidusia ini harus kita jadikan sebagai sebuah undang-undang agar bisa lebih baik lagi. Terutama untuk memberikan kepastian hukum bagi para investor, karena mereka (investor,red) membutuhkan kepastian hukum tersebut.
“Dengan adanya kepastian hukum, saya yakin para investor akan berinvestasi di Indonesia. Namun apabila tidak mendapatkan kepastian hukum, pasti mereka akan takut untuk berinvestasi,” terangnya.
Pada kesempatan itu, Otty juga menjelaskan tadi kami memberikan masukan 11 poin yang harus diperbaiki. Pastinya nanti kita akan lebih detail lagi pasal demi pasal kita akan kritisi.”Seperti pasal 1 itu akan membuat adanya multi interpretasi, sehingga nanti kita akan buat masukan juga. Dan juga ada masukan bagaimana tata cara mengeksekusi, pendaftaran dan sebagainya,” paparnya.
Demikian juga soal sentralisasi fidusia, menurut Otty, intinya pada punishment. “Semua aturan kalau tidak ada punishment-nya ya tidak ada artinya. Seperti akta yang tidak bernomor, ini sangat berbahaya sekali,” ucapnya.
“Harapan kita, masukan-masukan yang sudah diberikan kiranya bisa dipertimbangkan untuk selanjutnya dimasukkan sehingga UU yang ada nanti lebih mencerminkan revolusi teknologi 5.0,” pungkas Otty. (Hari.S)