Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Tersiar kabar bahwa Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) tidak bekerja, terutama terkait keikutsertaannya dalam Rencana perubahan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia cukup mengusik telinga bagi pengurus yang merasa telah ikut bekerja dalam perencanaan tersebut.
Ketua Bidang Kepemimpinan PP-INI, Diah Sulistyani Muladi mengatakan kami (PP-INI,red) sudah bekerja sejak 2018, untuk membahas amandemen UU 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Rapat demi rapat bahkan sampai menginap ketika rapat di Bogor beberapa waktu lalu, kami terus bekerja.
“Kebetulan saya pun ditunjuk dari unsur akademisi dan praktisi serta beberapa tim PP-INI dimasukkan ke dalam di tim Naskah Akademis (NA). Meskipun masuk di dalam tin NA, tetapi kami tidak melakukan publish besar-besaran, karena pembahasan ini belum final masih memerlukan masukan-masukan dari berbagai pihak untuk ditampung yang kemudian kita bahas bersama,” katanya kepada nusantarapos di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Liesty begitu biasa dia dipanggil, menjelaskan Bu Ketum PP-INI (Yualita Widyadhari) meskipun terlihat diam namun bekerja dan memerintahkan timnya untuk bergerak. Memang sih pribadi orang itu berbeda-beda, kalau tipikal Bu Ketum itu akan diam dulu ketika sesuatu belum final.
“Kami adalah saksi yang mengetahui bagaimana kinerja Bu Ketum, untuk pembahasan amandemen UU Jaminan Fidusia ada tim PP-INI yang bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan ada juga yang selalu rapat setiap hari Selasa di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Semoga apa yang kami kerjakan sukses dan membuahkan hasil yang baik untuk kepentingan notaris di Indonesia,” tegasnya.
Pembahasan Belum Ada Titik Temu, INI Telah Bersurat ke Pihak Terkait
Sementara itu PP-INI melalui laman Facebook Hubungan Masyarakat INI pada Selasa (9/7/2019), menerangkan hal sebagai berikut ; sejak tahun 2018, PP-INI telah dilibatkan dalam proses pembahasan Naskah Akademik di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), antara lain Naskah Akademik tentang Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Rancangan RUU Fidusia). Dua Ketua Bidang PP-INI ditugaskan sebagai anggota Tim Penyusunan Naskah Akademik yang dibentuk oleh BPHN, yaitu Ibu Dr. Liesty (dari akademisi/person) dan Ibu Dr. Yurisa (dari PP-INI).
Mencermati hasil diskusi dalam rapat-rapat pembahasan, terdapat beberapa perbedaan pandangan antara PP-INI dengan pihak pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya seperti akademisi, OJK, asosiasi pembiayaan dsb, antara lain terkait dengan pemberian Jaminan Fidusia dibuat secara di bawah tangan dengan nilai tertentu, kuasa memberi Jaminan Fidusia, tanda tangan elektronik, pendaftaran Jaminan Fidusia online selain notaris dan penghapusan (roya) Jaminan Fidusia. Dari sekian persoalan tersebut, dua di antaranya dibahas secara ringkas di bawah ini.
Pertama, dibukanya wacana Jaminan Fidusia dibuat di bawah tangan adalah persoalan penting yang tidak disetujui oleh PP-INI, bukan disebabkan karena kekhawatiran hilangnya peluang pekerjaan pembuatan akta notaris, tetapi lebih disebabkan hilangnya kepastian hukum dari Jaminan Fidusia yang oleh UU diberikan mempunyai hak diutamakan (preferen) sejak dilakukan pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Selanjutnya, kedua, PP-INI juga memasukkan usulan yang mengharuskan kuasa pemberian Jaminan Fidusia dibuat secara notarial untuk memberikan kepastian hukum terkait otentisitas pemberian Jaminan Fidusia sehingga akan memberi kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusinya. Wacana pemberian kuasa/akta secara elektronik diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang pembuktian tanda tangan elektronik yang tunduk kepada UU ITE dan peraturan pelaksanaannya.
Dengan masih terdapat beberapa hal yang belum ada titik temu, PP-INI telah menyampaikan surat resmi kepada Menteri Hukum dan HAM RI serta Dirjen Administrasi Hukum Umum tentang pertimbangan (concern) terkait dengan perubahan UU Jaminan Fidusia untuk menjadi perhatian serius, sehingga hal tersebut mendukung penilaian Indonesia dalam pemenuhan syarat ease of doing business (EoDB) tanpa meninggalkan kaidah dan norma hukum yang berlaku di Indonesia.(Hari.S)