Jakarta, NusantaraPos – Calon presiden (capres) Prabowo Subianto menyampaikan pidato kebangsaan di Jakarta Convention Centre (JCC), Senin (14/1/2019) malam. Pro-kontra menyambut pidato yang berapi-api tersebut.
Yang kontra, salah satunya Koordinator Koalisi Nasional Relawan Muslim Indonesia (KN RMI), Ton Abdillah Has. Ton menilai pidato mantan Danjen Kopassus hebat dari sudut pandang yang normatif, namun memalukan jika ditilik mengacu sejarah.
“Pidato tersebut hanya hebat secara normatif tapi memalukan secara historis. Karena kerusakan ekonomi politik Indonesia, yang diwarisi dan sedang diperbaiki Presiden Jokowi, merupakan andil kebobrokan sistem yang dijalankan rezim otoriterian Orde Baru dan satu dekade rezim SBY,” ujar Ton, Selasa (15/1/2019).
Prabowo sendiri, imbuh Ton, dinilai sebagai kepanjangan tangan Orde Baru yang tersisa saat ini.
“Jadi pidato tersebut, seperti menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri,” ucapnya.
Ton menjelaskan, penguasaan korporasi-korporasi trans-nasional barat pada pertambangan energi dan mineral di Indonesia, dimulai sejak masa Orde Baru. Kebijakan tersebut sebagian diperpanjang pada masa SBY. Justru di masa Jokowi, kata dia, penguasaan asing sebagiannya mulai dialihkan kepada BUMN, antara lain terjadi pada Blok Mahakam, Blok Rokan dan Freeport.
“Begitu pula impor BBM yang menyedot devisa secara luar biasa, merupakan akibat kegagalan pemerintahan periode sebelumnya membangun kilang-kilang minyak baru untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” tuturnya.
Terkait kebijakan bahan bakar minyak, lanjut Ton, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla saat ini justru tengah memperbaiki kesalahan rezim sebelumnya. Caranya dengan merevitalisasi lima kilang minyak lama dan membangun dua kilang baru di Tuban, Jawa Timur dan Balikpapan, Kalimantan Timur, dengan investasi ratusan trilyun rupiah.
Perihal kemandirian pangan Indonesia yang sempat disindir Prabowo dalam pidato, Ton juga berkomentar. Kebijakan kemandirian pangan menurutnya bukanlah hal yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Politik pangan pemerintahan Jokowi saat ini, kata dia memiliki roadmap yang terukur, dan sedang berjalan menuju kemandirian pangan nasional, meski dalam beberapa situasi harus bernegosiasi dengan ketersediaan pangan yang memaksa dibukanya sebagian keran impor.
Terkait hutang luar negeri, membesarnya volume hutang Indonesia nyaris 100 persen, dipandang sebagai hutang produktif untuk membangun infrastruktur, pembangkit, dan sarana publik lainnya. Jika dibandingkan dengan era sebelumnya, ucap dia, hutang luar negeri Indonesia digunakan untuk keperluan konsumtif dan menutup devisit APBN.
Ton menyindir kualitas Prabowo yang orator hebat namun tanpa aksi. Kualitas itu dirasa berbanding terbalik dengan kepemimpinan Jokowi yang teruji bekerja keras dan terprogram sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi presiden.
“Lima tahun pemerintahan Jokowi meski tanpa pidato yang menggebu-gebu, merupakan lima tahun paling revolusioner dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia,” tandas mantan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). RK