Jakarta, Nusantarapos – 10 Desember yang biasa diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia masih meninggalkan pekerjaan rumah bagi Pemerintah akibat belum terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengusulkan tiga langkah penting yang dapat ditempuh oleh Pemerintah tersebut.
“Langkah pertama yang dilakukan oleh Pemerintah harusnya adalah bertanya kepada para korban, mekanisme apa yang sebaiknya Pemerintah lakukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Setelah negara bertanya kepada korbannya lalu negara memutuskan,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (10/12/2019).
“Kenapa bertanya kepada para korban? Karena mereka pihak yang langsung dirugikan. Mereka sudah lama menuntut soal ini dan itu harus didengar sehingga aspirasi korban ini tidak tunggal. Sehingga pemerintah siap menerbitkan kebijakan yang tepat,” lanjutnya.
Kedua, pemerintah dapat membuat memorialisasi untuk memberikan hak satisfasi kepada korban. Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama agar masyarakat mengingat kembali peristiwa pelanggaran HAM tersebut. Contoh nyata adalah pembuatan monumen Bom Bali.
Ketiga, Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial yakni salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui LPSK.
“Korban terorisme, kekerasan seksual terhadap anak, tindak pidana perdagangan orang, dan korban pelanggaran HAM berat itu punya hak ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014,” jelas Edwin.
LPSK berpendapat ini saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman) sekaligus memenuhi hak korban.
“Kami mendukung langkah pemerintah untuk menyelesaikan secara formil supaya ketahuan seperti apa sih peristiwa itu terjadi,” tegasnya. (RIE)