Jakarta, NusantaraPos – Masalah intoleransi terhadap perbedaan di Indonesia, dinilai lebih berbahaya dibanding persoalan terorisme. Sebab, negara didirikan berdasarkan keragaman berbagai aspek.
“Persoalan intoleransi ini sangat mencemaskan kita semua. Lebih berbahaya dari terorisme karena negara kita didirikan dari asas kebhinekaan, dan paham itu (intoleransi) dapat menggerogoti persatuan dan kesatuan kita,” ujar Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (Alsyami) M. Najih Arromadloni di ‘Talkshow Peci dan Kopi: Intoleransi dan Tantangan Kebhinekaan’ yang digelar 164 Channel, di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2020).
“Intoleransi di level paling bawah yaitu eksklusivisme. Masyarakat tidak mau berbaur. Paham mereka hanya soliditas dengan yang satu kelompok saja,” imbuh dia.
Di tempat yang sama, Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi, menilai sikap intoleransi tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara, baik negara berkembang maupun maju.
“Politik yang demokratis tapi kalau sumbunya intoleransi ini sangat berbahaya,” ucapnya.
Semangat intoleransi saat ini masif beredar, salah satunya karena didukung pesatnya perkembangan teknologi informasi.
“Isu toleransi, radikalisme dan terorisme banyak sudah gunakan smartphone dan mudah mempengaruhi orang-orang yang labil biasanya mereka yang baru lulus sekolah dan belum mendapatkan pekerjaan,” tuturnya.
“Apalagi paham keagamaannya tidak dalam. Maka jihadnya begitu gampang jadi bagian dari dirinya dan itu yang harus diwaspadai karena dalam medsos (media sosial) ada istilah post truth,” sambung Juru Bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Sementara menurut Ali Imron, pelaku bom Bali I, aksi atau pemahaman radikalisme berawal dari sikap intoleransi.
“Bisa dipastikan radikal itu berawal dari intoleransi. Awalnya mereka eksklusif, tak mau berbaur, karena hanya menganggap kelompok mereka yang benar,” tuturnya.
Senada, Analis Intelijen Utama Densus 88, Brigjen Ibnu Suhendra, berpandangan intoleransi merupakan embrio atau cikal-bakal radikalisme.
“Dan radikalisme adalah embrio dari terorisme,” ucapnya.
Ia pun sependapat bahwa medsos berperan besar dalam penyebaran intoleransi, hingga akhirnya berkembang menjadi sikap radikalisme dan aksi terorisme.
“Banyak teroris yang kita tangkap dari Aceh sampai Timika melakukan aksinya didasari pada pesan-pesan di medsos yang disampaikan oleh para jihadis,” ungkap dia.
Masih di lokasi yang sama, peneliti senior Wahid Foundation, Alamsyah M. Djafar, menilai ada dua kata kunci dalam persoalan intoleransi. Pertama adanya kelompok yang tidak disukai.
“Kedua adalah apakah kita setuju mengenai kesepakatan bernegara maupun prinsip universal. Yang perlu kita tekankan pada permasalahan intoleransi ialah memperluas hak dasar yang dijamin konstitusi,” tandasnya.