Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID -Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang gugatan dengan nomor perkara 82/G/2020/PTUN.JKT terkait gugatan Evi Novida Ginting Manik (Anggota KPU masa jabatan 2017-2022), kantor PTUN Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (24/6/2020). Gugatan tersebut dilakukan setelah adanya Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
Dalam sidang lanjutan ini PTUN menghadirkan lima orang ahli diantaranya Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, Mantan Panitera MK dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Dr Zainal Arifin Hoesein SH MH, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si, penggiat pemilu yang juga ahli hukum kepemiluan Titi Angraeni dan pakar hukum dari Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M.
Hamdan Zoelva mengatakan saya melihat ada banyak masalah dengan DKPP terkait dengan kasus ini, ada 2 masalah besar. Yang pertama aduan sudah dicabut tapi kok diproses. Dan yang kedua peraturan DKPP menyatakan bahwa kuorum itu minimum 5 orang, sementara keputusan yang diambil dengan hanya 4 orang. Sehingga itu sangat telak menurut hukum batal.
“Karena peraturan DKPP adalah mengikuti undang-undang, peraturan DKPP itu delegasi dari kewenangan undang-undang untuk membuat peraturan DKPP. Jadi posisinya sangat tinggi, maka itu kalau kurang kuorumnya putusan sendiri dinyatakan tidak sah,” katanya.
Lanjut Hamdan, jika seluruh proses itu tidak sah maka hak penggugat harus dikembalikan lagi. Saya tidak tahu berapa banyak kasus seperti ini, kalau ini kasus baru saya kira semuanya ada di pengadilan tata usaha negara untuk memutuskan karena mereka memiliki kewenangan dalam hal tersebut.
“Seperti yang saya katakan tadi bahwa keputusan DKPP adalah keputusan pejabat TUN. Karena keputusan pejabat TUN maka bisa dijadikan objek oleh pengadilan TUN. Jadi objek putusan DKPP ini kan oleh para pemohon menunggu keputusan presiden, karena setelah ada keputusan presiden memang objek formilnya TUN ini ada di presiden,” ujarnya.
Hamdan menjelaskan tetapi secara materilnya adalah proses keluarnya putusan presiden yang menjadi sebab keluarnya putusan DKPP. Oleh karena itu pengadilan TUN, dengan demikian mau tidak mau harus menilai putusan DKPP itu. Kalau keputusan DKPP sudah cacat prosesnya, maka akibatnya sampai putusan di tingkat presiden harus dibatalkan.
Ketika keputusan presiden dibatalkan maka keputusan DKPP otomatis menjadi tidak berlaku. Presiden tidak memiliki kewenangan untuk melihat secara materil keputusan DKPP, karena dia hanya melihat rekomendasi di mukanya.”Jika rekomendasinya berhenti ya dia bisa memutuskan berhenti. Presiden tidak memiliki kewenangan untuk tidak mengikuti keputusan DKPP. Presiden hanya di administratifnya saja,” tegasnya.
Sebelumnya, Evi Novida Ginting Manik tidak terima dipecat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari jabatan komisioner KPU RI. Oleh sebab itu, Evi melayangkan gugatan terhadap Jokowi ke PTUN.
Kasus bermula saat Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP) memberhentikan dengan tidak hormat Evi karena sudah melanggar 3 kali kode etik penyelenggara pemilu. Pada 18 Maret 2020, DKPP resmi memecat Evi.
Menindaklanjuti hal itu, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 pada 23 Maret 2020. Tidak terima dengan hal itu, Evi menggugat Jokowi ke PTUN Jakarta.
“Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat Nomor: 34/P Tahun 2020 tanggal 23 Maret tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP,” demikian petitum Evi yang dikutip dari website PTUN Jakarta, Kamis (23/4/2020).