Jakatta, Nusantarapos – Energi panas bumi adalah salah satu dari tulang punggung suplai energi nasional di masa depan. Dengan potensi lebih dari 23,9 Gigawatt (GW), Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pun menargetkan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) mencapai 7.000 Megawatt (MW) pada 2025. Selain itu, pemerintah juga tetap berkomitmen untuk mencapai target 23 persen energi baru dan terbarukan (EBT) pada bauran energi tahun 2025.
Guna mengakselerasi pembangunan PLTP, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Pemerintah terus melakukan terobosan-terobosan inovasi dengan menyediakan berbagai kemudahan bagi kontraktor di sektor panas bumi. Kemudahan yang diberikan antara lain dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, di mana mengatur pembangunan PLTP dapat dilaksanakan di area hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.
“Sesuai yang tercantum dalam UU (21 tahun 2014) tersebut, pembangunan PLTP dapat dilakukan di area hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Selain itu, kami juga mengimbau kontraktor panas bumi untuk melakukan program kesejahteraan masyarakat dan CSR (Corporate Social Responsibility), serta mendorong pemerintah daerah untuk memaksimalkan penggunaan pendapatan daerah dari bonus produksi,” tutur Arifin pada Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIIGC) 2020, Selasa (8/9).
Pemerintah juga menggalakkan pembangunan panas bumi berbasis regional melalui program Flores Geothermal Island (FGI). “Untuk memenuhi kebutuhan listrik Pulau Flores dari energi panas bumi dan mengoptimalisasi pemanfaatan tidak langsung. Nantinya program ini juga akan diaplikasikan di daerah lain, setelah FGI berjalan dengan baik,” lanjut Arifin.
Untuk menarik investasi di sektor panas bumi, Arifin mengatakan, Pemerintah menyediakan berbagai insentif di bidang fiskal, seperti tax allowance, pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta bea masuk impor.
Selain itu, untuk mengurangi risiko kontraktor, Pemerintah juga menginisiasi skema pembangunan PLTP di mana pengeboran dilakukan pemerintah. “Pemerintah menyediakan skema pembangunan PLTP, di mana aktivitas eksplorasi dilakukan oleh Pemerintah,” ujarnya.
Saat ini, Pemerintah juga sedang menyiapkan Peraturan Presiden untuk meregulasi kembali harga energi terbarukan. “Ini dilakukan untuk menarik investasi di sektor EBT, termasuk pada pengembangan panas bumi,” tandas Arifin.
Sebagaimana diketahui, sejalan dengan RUEN, bauran energi dari EBT ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025, di mana konsumsi energi per kapita mencapai 1,4 ton of oil equivalent (ToE) dan konsumsi listrik per kapita sebanyak 2.500 kWh.
“Selanjutnya, di tahun 2050, bauran energi dari EBT diproyeksikan terus meningkat hingga 31% dengan konsumsi energi per kapita mencapai 3,2 ToE dan konsumsi listrik per kapita mencapai 7.000 kWh,” pungkas Arifin. (Rilis)