Jakarta, Nusantarapos – Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadikan Jalur Rempah sebagai salah satu program prioritas tahun 2021. Fokus programnya menitikberatkan pada rekontruksi Jalur Rempah untuk mendukung penetapannya sebagai warisan dunia (World Heritage). Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid dalam Taklimat Media Program Tahun 2021 yang digelar secara daring di Jakarta, Senin (11/1).
Lebih lanjut, Hilmar menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang menuntaskan untuk membuat peta Jalur Rempah. Titik lokasi yang sudah ditetapkan di 2020, rencananya tahun ini ingin dijelajahi untuk dilihat potensi kerja sama dan kolaborasinya dalam rangka mengangkat narasi Jalur Rempah itu sendiri, sehingga diharapkan secara optimistis dapat didaftarkan ke Komite Warisan Dunia UNESCO 2024 mendatang. “Tentu dengan melihat perkembangan situasi pandemi,” ucap Hilmar Farid.
Selanjutnya yang menjadi program prioritas lainnya di tahun 2021 yaitu Desa Pemajuan Kebudayaan. Program ini dimaksudkan untuk mengaktifkan ekosistem pemajuan kebudayaan masyarakat di desa dengan mengenali dan menarasikan potensi budaya desa berbasis budaya. Program ini juga bertujuan untuk menggali potensi ekosistem budaya yang dimiliki desa dari sudut pandang masyarakat atau komunitas desa itu sendiri sebagai pemilik kebudayaannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat desa itu sendiri.
“Rencananya kita akan turun ke sekitar 350-an desa dengan tahapan kerja mengenali potensi, mengembangkan dan memikirkan pemanfaatannya. Kita telah melakukan kerja sama dengan berbagai kementerian lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Sementara untuk lingkup internal Kemendikbud, kita bekerja sama dengan Dirjen Pendidikan Tinggi untuk memadukan program ini dengan Kampus Merdeka,” terangnya.
Program prioritas berikutnya di tahun 2021 yaitu repatriasi (pengembalian kembali) sejumlah benda cagar budaya milik Indonesia yang selama ini berada di luar negeri. Menurut Hilmar, saat ini sedang dibicarakan atau repatriasi benda cagar budaya dalam koleksi museum di Belanda dalam jumlah yang besar. “Pembicaraan sudah jauh, dikarenakan terdapat adanya komite dan penasehat di Kemendikbud di Belanda dan sedang dalam proses untuk meneliti koleksi museum di Belanda yang akan dikembalikan ke Indonesia,” ungkapnya.
Kemudian, dalam rangka membangun narasi tentang Indonesia, Ditjen Kebudayaan menilai penting pengembangan media kebudayaan. Oleh karenanya hal ini menjadi program prioritas berikutnya. Dikatakan Hilmar Farid, media kebudayaan merupakan inisiatif yang penting, yakni dengan membuat Siaran Kebudayaan atau Saluran Kebudayaan.
“Tentunya ini dipicu dari masa pandemi yang membuat kegiatan kita beralih ke media digital. Jadi akan ada TV Budaya, akan terdapat kanal khusus yang nanti dapat diakses oleh publik,” tuturnya. Direncanakan pada tahun 2021, Ditjen Kebudayaan akan melakukan konsolisasi dengan seluruh sumber daya yang ada di bawah nauangan direktoratnya guna menguatkan ‘kehadiran’ budaya di media.
Prioritas selanjutnya adalah advokasi masyarakat adat. Tujuan program ini adalah 1) terciptanya partisipasi masyarakat dalam pemenuhan hak Penghayat dan Masyarakat Adat; 2) meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pemenuhan hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya Penghayat dan Masyarakat Adat; 3) terciptanya skema layanan advokasi berorientasi pada pemberdayaan Penghayat dan Masyarakat Adat; 4) terciptanya sinergi lintas Kementerian dan Lembaga dalam pemenuhan hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya Penghayat dan Masyarakat Adat; 5) terpenuhinya hak sipil dan hak ekonomi, sosial dan budaya Penghayat dan Masyarakat Adat.
Adapun manfaat advokasi masyarakat adat yaitu sinergi lintas kementerian/lembaga, penanganan kasus holistik, perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada komunitas masyarakat adat, serta pemberdayaan. Dirjen Hilmar memaparkan, advokasi masyarakat adat ini juga akan beririsan dengan program pemajuan kebudayaan di desa. “Karena masyarakat adat ini umumnya ada di desa dan para pengemban pengetahuan lokal umumnya juga adalah masyarakat adat,” katanya.
Advokasi masyarakat adat akan menangani sejumlah kasus, contohnya jika terdapat ritual-ritual masyarakat adat yang tumpang tindih dengan tanah perusahaan sehingga menimbulkan konflik. Tujuannya tidak lain untuk menjembatani kedua belah pihak yang berselisih. Selain itu, program ini diharapkan dapat ikut serta mengangkat peran masyarakat adat dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seni dan budaya.
Perkembangan lain yang dapat saya laporkan adalah mengenai Badan Layanan Umum (BLU) Museum Nasional. Harapannya, dengan pengelolaan koleksi dan venue yang lebih baik, museum bisa memberikan layanan yang makin prima kepada publik. “Kita berharap pada tahun ini, penjualan tiket, penjualan merchandise, dan lainnya dapat meningkat.”
Konversi museum menjadi BLU tidak lepas dari banyaknya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Potensi kerja sama yang luas, peluang inovasi dalam pengelolaan cagar budaya, banyaknya tenaga profesional yang dilibatkan dalam meningkatkan kualitas event, dan tingginya minat masyarakat dalam mengembangkan kemitraan pengelolaan cagar dan museum menjadi pertimbangan yang melatarbelakangi gagasan konversi tersebut.
“Untuk menuju BLU, setidaknya ada tiga fokus utama yang dikerjakan, yakni pengelolaan koleksi nasional, pengelolaan venue budaya, dan pengembangan jasa layanan. Seluruh program prioritas Ditjen Kebudayaan di tahun 2021 ini akan kembali diselenggarakan dengan mempertimbangkan metode pelaksanaan yang bergantung dengan perkembangan situasi pandemi,” pungkas Dirjen Hilmar. (Rilis)