Sidang atas kasus pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran yang diatur UU Hukum Pidana tahun 1946 yang menimpa Dr. Syahganda Nainggolan seharusnya kemarin, Kamis, 25 Maret 2021 dilaksanakan untuk pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Namun, setelah menanti 3 jam sidang yang dijadwalkan pukul 10.00 Wib itu, akhirnya sidang dibuka Hakim Ketua, Raymond Wahyudi pukul 12.30 Wib, molor kurang lebih 2,5 jam. Ketika sidang dibuka, Jaksa dipersilakan hakim untuk membacakan tuntutan, namun Jaksa mengaku belum membuat tuntutan, karena belum siap untuk itu.
Memang pada Kamis lalu, Jaksa sudah meminta waktu kepada hakim lebih lama dari seminggu. Menurut mereka, tuntutan akan menunggu arahan dari kejaksaan agung, bukan mereka langsung yang menyusunnya.
Sebenarnya banyak masyarakat yang kurang mengikuti persidangan terdakwa Syahganda Nainggolan ini. Sebab, di masa pandemi Covid-19 ini sidang dilakukan secara online, sehingga terdakwa tidak dihadirkan serta pengunjung juga dibatasi. Beberapa Pengadilan Negeri di Jakarta membuat live streaming YouTube untuk kepentingan publik, namun dalam kasus persidangan di Depok ini, tidak ada fasilitas itu. Media sendiri memberitakan persidangan ini terbatas pada hal-hal yang bisa didengar wartawan tersebut.
Untuk itu perlu kami tuliskan di sini beberapa hal penting terkait fakta persidangan yang kami lihat selama ini, yakni pertama, terdakwa dipenjara karena barang bukti ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yakni men tweets terkait isu cukong (oligarki), isu penolakan RUU Omnibus Law Ciptaker dan keinginan berdemonstrasi. Kedua, peradilan ini telah dilakukan sebanyak 17 kali, dengan menghadirkan saksi pelapor, saksi fakta dan ahli. Baik yang dihadirkan Jaksa maupun penasihat hukum terdakwa.
*Nah, terkait isu cukong, awal muasalnya adalah pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengkritisi pilkada di Indonesia, yang menurutnya sudah 92% dibiayai cukong.* Pernyataan Mahfud MD disiarkan CNNIndonesia, 11 September 2020. Judul beritanya adalah “Mahfud MD Sebut 92 Persen Calon Kepala Daerah Dibiayai Cukong”.
Isi beritanya antara lain Mahfud menerangkan bahaya pengaruh cukong-cukong tersebut setelah pemilihan selesai. Menurutnya mereka akan melahirkan korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan itu antara lain meliputi lisensi penguasaan lahan hutan dan penguasaan tambang. Ini lebih berbahaya daripada korupsi uang.
Pernyataan Mahfud ini menarik perhatian terdakwa Syahganda. Dia lalu memasukkan link berita ini ke Tweeter serta men share komentar “Ini Artinya Pemerintah mengakui Kedaulatan Rakyat Itu Tidak ada, yang ada kedaulatan cukong2. Itulah Sebabnya Kami mendorong perubahan tuk selamatkan Indonesia dari kekuasaan cukong2 (oligarki). Kembali ke cita2 proklamasi”. Di persidangan terdakwa mengatakan bahwa pernyataan Mahfud MD itu adalah pernyataan yang baik dari pemerintah dan dia berusaha membahasnya di Tweeter.
*Tweeter adalah media jejaring sosial, yang memungkinkan hal-hal penting didiskusikan kepada follower seseorang.*
Namun, Tweeter terdakwa ini dianggap berbahaya. Karena merupakan pernyataan bohong. Sebab Mahfud MD tidak menyatakan kedaulatan rakyat telah berubah menjadi kedaulatan cukong2. Terdakwa bertahan bahwa menyimpulkan pernyataan Mahfud 92% pengaruh cukong dalam kekuasaan kepala daerah sebagaimana berita di atas cukup sahih untuk disimpulkan bahwa kedaulatan rakyat telah hilang. Tidak ada yang bohong.
*Begitulah konstruksi perkara Dr. Syahganda Nainggolan sehingga ditahan hampir 6 bulan ini.*
_Tweet lainnya adalah memberitahukan isi pidato Gatot Nurmantyo di acara KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Kerawang, pada 30 September 2020._ Gatot saat itu berpidato menyebutkan bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker tidak manusiawi dan menyengsarakan rakyat.
Lalu dalam tweetnya, terdakwa mengaitkan link berita detikNews terkait pernyataan pimpinan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) yang mengumumkan rencana Mogok Nasional dengan pidato Gatot tersebut. Syahganda mengatakan bahwa Gatot Nurmantyo mengutuk RUU Omnibus Law karena menyengsarakan buruh. Nah, dalam persidangan jaksa juga menganggap tweets ini sebuah pemberitaan bohong, karena Gatot tidak mengatakan mengutuk. Namun, terdakwa mengatakan bahwa pidato Gatot yang mengatakan RUU Omnibus Law Ciptaker tidak manusiawi dan menyengsarakan buruh dia simpulkan sebagai mengutuk. Sebagai contoh, kalau orang berteriak Allahuakbar, maka seseorang yang mendengar dapat mengatakan bahwa orang tersebut bertakbir. Meski perkata Allahuakbar itu tidak sama dengan takbir. Dalam bahasa dikenal dengan sinonim dan penyimpulan. Terdakwa bertahan bahwa Gatot memang mengutuk RUU OBL Ciptaker itu.
Tweets lainnya adalah tentang pernyataan Syahganda mengucapkan selamat kepada buruh yang berdemo.
*Dalam tweets itu dia mengaitkan hastag* #OmnibusLawSampah.
Jaksa mengatakan bahwa perkataan terdakwa Omnibus Law Sampah sebagai unsur pidana. Namun, terdakwa mengatakan bahwa hastag itu sudah ada dan tersedia di Tweeter sejak bulan Februari 2020, bukan perkataan dia, itu adalah tagar. Sedangkan Omnibus Law sendiri bukanlah Undang-undang. Omnibus Law adalah metoda pembuatan Undang-undang ala Amerika dan Anglo-Saxon, yang baru diadopsi Indonesia.
Hastag itu dalam bahasa Tweetland adalah tempat orang sharing dalam kesamaan isu.
Menurutnya peradilan harus memahami dunia media sosial berbeda dengan “broadcasting” (pemberitaan) seperti pamplet, koran, radio dan televisi. UU Pidana 1946 dibuat jaman kuno, belum ada Tweeter. Jika “screenshot” postingan dianggap sebagai pemberitaan, maka esensi dunia digital yang penuh interaksi akan kehilangan makna. Tim revisi UU ITE yang diketuai Mahfud MD harus berhasil memahami “Social Network Site” (Medsos) dalam rangka merevisi UU ITE yang sedang berlangsung saat ini.
Sedangkan tweets memberi selamat kepada buruh yang mogok dan demo adalah konstitusional. Sebab, mogok kerja dan demo itu sendiri adalah konstitusional.
Pada saat saksi fakta dihadirkan, terungkap pula bahwa tidak ada kaitan mereka demo dengan tweets terdakwa. Saksi fakta yang dihadirkan Jaksa adalah peserta demo, seorang pemuda, yang kini ditahan di Polda Metro Jaya.
Awalnya saksi ini mengatakan dia terinspirasi demo karena melihat media sosial dengan tagar OmnibusLawSampah. Namun, ketika dikejar penasihat hukum terdakwa, di mana dia melihatnya? Jawabnya di Instagram.
Bukan Tweeter? Bukan, katanya, sebab dia tidak punya Tweeter. Terdakwa melihat itu menyampaikan pada hakim agar tidak menggubris keterangan saksi ini, sebab tidak ada hubungan sama sekali Instagram dengan Tweeter.
Dua saksi meringankan yang dihadirkan penasihat hukum adalah dua orang ketua serikat buruh dan seorang pimpinan Konsorsium Pembaharuan Agraria. Ketiganya mengatakan bahwa mereka sudah mengorganisasikan demonstrasi menolak RUU Omnibus Law Ciptaker sejak awal tahun 2020. Mereka juga tidak ada keterkaitan dengan Tweeter terdakwa.
Bahkan mereka tidak melihat Tweeter terdakwa. Alhasil, semua saksi fakta alias saksi yang mereka ikut langsung berdemonstrasi, menunjukkan tidak ada hubungan sebab akibat antara Tweeter terdakwa dengan aksi mereka selama ini.
Demikianlah persoalan hukum yang dihadapi terdakwa Dr. Syahganda Nainggolan untuk diketahui publik. Dia sendiri adalah pendiri organisasi Pro Demokrasi, sebuah organ perjuangan demokrasi di Indonesia, yang diinisiasi aktifitis anti Suharto.
Syahganda sendiri mengalami kekerasan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan rezim Suharto, di mana dia di penjara dan di pecat dari Institut Teknologi Bandung.
Penulis : Andrianto, Presedium Gerakan Pro Demokrasi Indonesia